Bekerja Tanpa Henti Bikin Bangga? Hati-hati Toxic Productivity yang Bisa Serang Fisik dan Mentalmu!

Ilustrasi multitasking
Sumber :
  • Shuttershock

Lifestyle –Pernah nggak sih, baru dapat satu notifikasi dari bos, di malam yang harusnya santai langsung berubah jadi lembur? Bahkan di akhir pekan atau masa libur setelah kerja banting tulang berminggu-minggu? Kedengarannya familiar, kan?

Di era serba online 24 jam ini, ada budaya yang makin kuat di masyarakat yakni sibuk itu keren. Dari situlah lahir istilah toxic productivity. Intinya, ketika dorongan buat selalu kerja atau terus produktif berubah jadi obsesi nggak sehat. Alih-alih bahagia dan seimbang, orang jadi merasa wajib kerja terus, takut ketinggalan kalau berhenti sebentar. Padahal, ujung-ujungnya malah bikin capek fisik, stres, dan kehilangan semangat.

Banyak kantor juga masih menilai kerja keras dari lamanya jam kerja, bukan hasilnya. Ditambah lagi sistem kerja jarak jauh dan teknologi bikin batas antara kerja dan kehidupan pribadi makin kabur. Akibatnya, orang susah banget buat benar-benar istirahat. Media sosial pun memperparah, karena tiap hari kita lihat postingan orang lain yang terlihat super produktif.

Melansir laman Times of India, data dari 2024 Mercer Global Talent Trend Report menunjukkan 82% pekerja berisiko burnout gara-gara beban kerja berlebihan, kelelahan, dan masalah finansial. Jadi, toxic productivity itu lebih dari sekadar lembur. Kalau keseringan, tubuh jadi gampang lelah, pikiran sumpek, emosional, sampai akhirnya gampang marah dan makin nggak fokus.

Perangkap Rasa Bersalah

Salah satu penyebab utamanya adalah rasa bersalah. Banyak orang merasa kalau istirahat berarti malas atau bakal ketinggalan. Media sosial bikin makin parah, karena sukses sering ditampilkan seolah hanya datang dari kerja keras tanpa henti.

Menurut profesor di London School of Economics, Laura Giurge, banyak karyawan merasa selalu ‘miskin waktu’. Untuk menutupi perasaan itu, mereka akhirnya mengorbankan kegiatan penting lain, termasuk waktu libur. Riset Giurge juga nunjukin kalau orang yang tetap kerja di akhir pekan dan hari libur lama-lama kehilangan motivasi dari dalam dirinya sendiri.

Masalahnya, di banyak kantor, orang yang pulang larut, nggak cuti, atau kerja di akhir pekan malah sering dianggap paling berdedikasi. Budaya kayak gini bikin istirahat dianggap lemah atau kurang komitmen.

Padahal, kata para ahli, pemimpin punya peran besar buat mengubah situasi ini. Kalau atasan berhenti kirim email tengah malam, nggak mempersulit cuti, dan benar-benar ngambil libur lalu cerita ke timnya, karyawan jadi merasa wajar buat istirahat. Lingkungan kerja pun bisa lebih sehat.

Cara Keluar dari Lingkaran Toxic Productivity

Psikolog menyarankan kita buat redefinisi arti sukses. Bukan cuma soal produktivitas tanpa henti, tapi juga soal bisa jaga diri. Caranya? Atur batas jelas antara kerja dan hidup pribadi, rutin istirahat, coba mindfulness, dan jangan takut bilang “tidak” kalau memang sudah terlalu banyak kerjaan.

Intinya, istirahat itu bukan dosa. Justru energi dan ide baru muncul ketika kita kasih waktu buat tubuh dan pikiran bernapas.