Antara Bertahan dan Mundur: Beratnya Memutuskan Resign Saat Jadi Sandwich Generation
- Pixaby
Rasa bersalah ini berbahaya karena sering kali tersamar sebagai “tanggung jawab”. Padahal, menurut psikolog riset asal Amerika Serikat, Dr. Brené Brown, rasa bersalah yang terus-menerus tanpa ruang pemulihan justru memicu toxic shame—rasa malu yang membuat kita merasa tidak cukup, bahkan ketika kita sudah memberikan segalanya.
“Perasaan bersalah bisa menjadi indikator moralitas, tapi jika tidak dikelola, itu berubah menjadi beban batin yang sangat menggerogoti,” tulis Brown dalam bukunya Atlas of the Heart.
Kamu jadi hidup dalam dua dunia yang saling tarik menarik. Satu sisi ingin bertahan, karena takut mengecewakan orang yang kamu sayangi. Di sisi lain, kamu ingin pergi, karena tahu bahwa mentalmu mulai rapuh. Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi soal logika, tapi tentang keberanian untuk mengakui: bahwa kamu juga manusia. Kamu juga berhak istirahat dan kadang, memilih diri sendiri bukan berarti egois tapi justru penyelamatan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
1. Akui Bebanmu, Jangan Kecilkan
Langkah pertama adalah validasi. Kamu bukan egois karena ingin berhenti. Kamu hanya manusia yang sudah terlalu lama menanggung lebih dari satu beban tanpa bantuan.