Tradisi Ciuman Massal di Bali, Apa Tujuannya?
- Pixabay
Larangan itu berlangsung singkat; tak lama setelahnya, dua ekor babi hutan bertarung sengit di lokasi ritual, yang diinterpretasikan sebagai pertanda buruk dari alam semesta. Kematian misterius dan peningkatan kasus penyakit di desa semakin meyakinkan warga untuk melanjutkan tradisi.
Data historis menunjukkan penurunan tingkat kriminalitas dan peningkatan solidaritas pasca-pelaksanaan, membuktikan manfaatnya secara empiris. Hingga kini, Omed-Omedan tetap dilindungi sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, meski dengan pengawasan ketat untuk menjaga kesakralan.
Daya tarik wisata Omed-Omedan semakin menonjol di era digital, menjadikannya konten viral di media sosial. Wisatawan mancanegara, terutama dari Eropa dan Australia, berdatangan khusus untuk menyaksikan ritual ini, sering kali membandingkannya dengan festival Carnival di Rio atau Holi di India.
Pada 2024, acara menarik lebih dari 5.000 pengunjung, berkontribusi pada ekonomi lokal melalui penjualan makanan tradisional seperti babi guling dan loloh cemcem di bazaar jalanan. Namun, tantangan muncul dari overtourism: kerumunan yang berlebih mengganggu kesakralan, sementara pandemi COVID-19 sempat membatasi partisipasi.
Upaya pelestarian melibatkan edukasi bagi wisatawan agar hanya sebagai penonton, bukan peserta, untuk menghormati norma adat. Festival ini juga menjadi model bagaimana budaya lokal bisa adaptif, dengan penambahan elemen modern seperti live streaming untuk audiens global tanpa mengorbankan esensi.
Lebih dalam lagi, Omed-Omedan mencerminkan dinamika gender dan seksualitas dalam masyarakat Bali tradisional. Meski tampak egaliter, ritual ini memberdayakan perempuan sebagai teruni yang aktif menarik balik, menantang stereotip pasifitas.
Dalam konteks Hindu Bali, ciuman di sini bukan ekspresi erotis, melainkan simbol Tri Mandala—pemurnian fisik, mental, dan spiritual. Penelitian antropologi dari Universitas Udayana (2022) mengungkap bahwa 70% peserta merasakan peningkatan rasa percaya diri pasca-ritual, terutama di kalangan pemudi yang jarang menunjukkan afeksi publik.