Tradisi Ciuman Massal di Bali, Apa Tujuannya?
- Pixabay
Dengan aba-aba dari pemimpin Hindu setempat, kedua kelompok maju ke tengah, saling tarik-menarik dengan tangan kosong. Saat bertemu, pasangan terdepan saling berpelukan erat, sering kali disertai ciuman singkat di pipi atau bibir, sebelum disiram air oleh penonton untuk menandai akhir ronde.
Proses ini berulang hingga semua peserta bergiliran, berlangsung sekitar dua jam di bawah terik matahari Bali. Elemen air dalam siraman bukan hanya untuk keseruan, tetapi juga simbol pemurnian, mengingatkan pada ritual Melasti menjelang Nyepi.
Di balik kesan sensasional sebagai "ciuman massal", tujuan utama Omed-Omedan adalah memperkuat ikatan sosial dan harmoni komunal. Dalam konteks masyarakat Bali yang berbasis banjar (komunitas adat), ritual ini merepresentasikan nilai Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan—dengan fokus pada asah, asih, dan asuh antarwarga.
Bagi generasi muda yang sering terjebak rutinitas modern, Omed-Omedan menjadi sarana untuk menjalin silaturahmi, mengurangi isolasi sosial, dan bahkan mencari pasangan hidup. Banyak pasangan suami-istri di Sesetan yang bertemu melalui ritual ini, menjadikannya sebagai "panggung jodoh" yang romantis.
Secara filosofis, tarik-menarik melambangkan perjuangan melawan godaan negatif, sementara pelukan dan ciuman singkat menekankan kasih sayang platonis yang murni, bukan hasrat carnal. Tokoh adat seperti I Gusti Ngurah Oka Putra menegaskan bahwa ini bukan ajang umbar nafsu, melainkan bentuk dharma shanti untuk menjaga kedamaian desa.
Studi dari Jurnal Bali Membangun Bali (2019) juga menunjukkan bahwa partisipasi dalam Omed-Omedan meningkatkan rasa kebersamaan hingga 40% di kalangan pemuda Banjar Kaja.
Tradisi ini sempat menghadapi kontroversi yang menguji ketahanannya. Pada 1980-an, pemerintah Orde Baru melarangnya karena dianggap pornografis dan bertentangan dengan norma kesusilaan nasional yang dipengaruhi nilai Islam mayoritas.