Ciri-Ciri Pendaki FOMO, Bisa Kelihatan dari 5 Hal Ini

Ilustrasi backpacker
Sumber :
  • Pixabay

Lifestyle –Mendaki gunung kini menjadi salah satu aktivitas wisata alam yang digemari, terutama di kalangan generasi muda. Namun, di balik pesona puncak dan panorama alam, muncul fenomena pendaki FOMO (Fear of Missing Out), yaitu mereka yang mendaki hanya untuk mengikuti tren atau mencari pengakuan di media sosial

Cara Hemat Naik Kereta Jakarta-Bandung Cuma Rp16 Ribu, Gak Bakal Kena Macet

Fenomena ini tidak hanya mengurangi esensi pendakian, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan akibat kurangnya persiapan. Berdasarkan laporan tim SAR dan pengelola taman nasional, kasus pendaki yang tersesat atau mengalami hipotermia sering melibatkan pendaki FOMO

Berikut adalah lima ciri utama pendaki FOMO yang dapat dikenali, membantu wisatawan memahami pentingnya mendaki dengan niat dan persiapan yang tepat.

1. Prioritas pada Konten Media Sosial

Jakarta Tanpa Asap: Wisata Hiburan Jadi Makin Menarik Buat Turis Asing atau Sebaliknya?

Ciri utama pendaki FOMO adalah fokus mereka pada pembuatan konten media sosial, seperti foto atau video, ketimbang menikmati pengalaman mendaki. Mereka sering membawa peralatan fotografi yang berlebihan, seperti tripod atau kamera profesional, namun mengabaikan perlengkapan keselamatan seperti jaket tahan air, senter, atau kotak P3K. 

Menurut artikel di Journal of Safety Research, pendaki FOMO cenderung memilih pose di lokasi berbahaya, seperti tebing curam, demi foto yang “Instagramable,” tanpa mempertimbangkan risiko longsor atau terpeleset. Hal ini tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga tim pendakian.

2. Kurangnya Persiapan Fisik dan Mental

5 Usaha di Tempat Wisata yang Bisa Jadi Ladang Cuan, Turis Pasti Ngantri Beli!

Pendaki FOMO sering kali tidak mempersiapkan diri secara fisik dan mental sebelum mendaki. Mereka terdorong oleh tren media sosial tanpa melatih stamina atau memahami medan gunung. Instruktur SAR Muhammadiyah menyarankan latihan kardio selama minimal dua minggu sebelum pendakian, seperti jogging atau naik turun tangga, untuk membangun daya tahan tubuh. 

Namun, pendaki FOMO kerap mengabaikan hal ini, yang dapat menyebabkan kelelahan ekstrem, kram otot, atau bahkan penyakit ketinggian seperti edema paru. Kurangnya persiapan ini juga meningkatkan risiko tersesat, seperti kasus di Gunung Prau pada Juli 2024, di mana pendaki FOMO terjebak akibat cuaca buruk.

3. Mengabaikan Etika Pendakian

Pendaki FOMO sering kali tidak mematuhi etika pendakian, seperti membuang sampah sembarangan atau merusak vegetasi. Laporan dari pengelola Gunung Rinjani menyebutkan bahwa banyak pendaki FOMO meninggalkan sampah plastik, yang merusak ekosistem pegunungan. 

Selain itu, mereka kerap mengabaikan peraturan, seperti mendaki tanpa izin resmi (SIMAKSI) atau menggunakan jalur ilegal untuk menghindari tiket masuk. Perilaku ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga dapat mengakibatkan sanksi, seperti blacklist selama beberapa tahun dari kawasan taman nasional, seperti yang terjadi di Gunung Gede Pangrango pada 2024.

4. Pemilihan Perlengkapan yang Tidak Sesuai

Pendaki FOMO cenderung memprioritaskan penampilan ketimbang keamanan dalam memilih perlengkapan. Mereka sering menggunakan sepatu kasual atau pakaian modis yang tidak cocok untuk medan gunung, seperti jeans atau jaket tipis, ketimbang sepatu trekking dan jaket tahan air. 

Komunitas pendaki senior di Mojok.co menyoroti bahwa pendaki FOMO kerap membawa matras di luar tas carrier hanya untuk terlihat “petualang,” padahal ini tidak praktis di jalur berbatu. Perlengkapan yang tidak memadai meningkatkan risiko cedera, seperti terkilir atau hipotermia, terutama di gunung dengan cuaca ekstrem seperti Semeru atau Rinjani.

5. Motivasi Berbasis Validasi Sosial

Pendaki FOMO biasanya termotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan di media sosial, bukan untuk menikmati alam atau menantang diri sendiri. Mereka mendaki gunung populer, seperti Prau atau Bromo, hanya karena destinasi tersebut sedang tren di Instagram atau TikTok. 

Menurut Vinda Maya Setianingrum, dosen Universitas Negeri Surabaya, motivasi ini membuat pendaki FOMO terburu-buru mencapai puncak tanpa memahami risiko medan, seperti jalur berbatu di Gunung Arjuno atau lumpur di Gunung Prau. Akibatnya, mereka sering mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan tantangan pendakian, yang dapat mengganggu keselamatan tim.