Mengenal Ruwatan, Ritual Pembersihan Nasib Buruk di Jawa
- Wonderful Indonesia
Secara historis, ruwatan telah ada sejak era Hindu-Buddha di Jawa, sebagaimana tercatat dalam teks kuno seperti Serat Centhini dan Kakawin Arjunawiwaha. Tradisi ini kemudian berkembang dengan masuknya pengaruh Islam, di mana doa-doa dan mantra dipadukan dengan nilai-nilai keimanan. Ruwatan tidak hanya menjadi ritual spiritual, tetapi juga simbol harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan gaib.
Prosesi Ruwatan dan Daya Tarik Wisata
Pelaksanaan ruwatan melibatkan serangkaian prosesi yang kaya akan simbolisme. Ritual ini biasanya dimulai dengan persiapan sajen, seperti nasi kuning, tumpeng, bunga, dan kain, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan dunia gaib.
Prosesi utama mencakup siraman (pembersihan dengan air suci yang mengandung kembang tujuh rupa), pemotongan rambut sebagai simbol pelepasan dosa, dan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala. Dalang, sebagai pemimpin ritual, memainkan peran penting dengan membacakan mantra dan mengisahkan cerita untuk mengusir energi negatif.
Di beberapa daerah, seperti Dieng, ruwatan anak berambut gimbal menjadi daya tarik utama, terutama saat Dieng Culture Festival, yang menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya.
Bagi wisatawan, ruwatan menawarkan pengalaman budaya yang autentik. Di Yogyakarta dan Solo, ritual ini sering diadakan di keraton atau desa-desa wisata, seperti Giripanggung di Gunungkidul, yang memadukan pertunjukan wayang dengan suasana pedesaan yang asri. Wisatawan dapat menyaksikan prosesi secara langsung, belajar tentang filosofi Jawa, dan bahkan berpartisipasi dalam kegiatan pendukung seperti membuat sajen atau mengikuti workshop budaya.
Selain itu, ruwatan massal, seperti yang diadakan di Taman Mini Indonesia Indah pada Juli 2024, memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk merasakan atmosfer komunal yang mempererat silaturahmi antarpeserta.