Ketika Orang Tua Punya Inner Child yang Belum Pulih, Apa Dampaknya pada Anak?

Ilustrasi inner child
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Kesadaran akan kondisi psikologis diri semakin meluas, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z yang kini mulai memasuki usia menjadi orang tua. Salah satu konsep psikologi yang kini mendapat perhatian adalah “inner child”, yaitu bagian dari diri seseorang yang mewakili pengalaman masa kecilnya. Banyak orang tua yang menyadari bahwa inner child mereka belum sepenuhnya pulih atau sembuh dari luka masa lalu. 

Kenali Tanda-Tanda Anak Bosan atau Cemas Selama Libur Panjang

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius dalam dunia parenting: bagaimana kondisi inner child yang belum tuntas ini dapat memengaruhi pola asuh dan perkembangan anak-anak mereka?

Apa Itu Inner Child?

Dalam psikologi, inner child merujuk pada aspek batin seseorang yang menyimpan kenangan, emosi, dan pengalaman masa kecil—baik yang menyenangkan maupun traumatis. Inner child positif membawa kenangan bahagia dan rasa aman, sementara inner child yang terluka mengandung trauma, ketakutan, dan luka emosional yang belum terselesaikan. 

‘Rich Dad, Poor Dad’ untuk Gen Z, Simak 5 Prinsip Investasi agar Gaji Tak Cuma Numpang Lewat

Inner child yang belum pulih bisa memicu pola pikir, reaksi, dan perilaku yang tidak sehat, terutama dalam hubungan interpersonal seperti antara orang tua dan anak.

Memahami inner child penting bagi orang tua karena luka masa lalu yang tidak diatasi dapat berulang dalam bentuk pola asuh yang kurang optimal, dan menimbulkan dampak negatif pada perkembangan anak. Khususnya bagi generasi milenial dan Gen Z yang umumnya melek emosi, namun belum sepenuhnya menyelesaikan proses healing mereka.

Inner Child yang Terluka dan Pola Asuh yang Terbentuk

5 Nasihat Keuangan Robert Kiyosaki untuk Gen Z, Agar Tak Menyesal di Usia Senja

Orang tua dengan inner child yang belum pulih cenderung membawa trauma masa kecil mereka ke dalam pola asuh. Ini bisa berwujud sebagai kontrol berlebihan, sikap mudah marah, inkonsistensi dalam mendisiplinkan anak, hingga sikap dingin emosional. Misalnya, seseorang yang mengalami pengasuhan keras pada masa kecilnya mungkin akan menerapkan pola asuh yang terlalu permisif sebagai bentuk kompensasi, atau malah mengulangi siklus pengasuhan yang otoriter tanpa disadari.

Selain itu, inner child yang terluka bisa memicu respons emosional yang berlebihan ketika menghadapi situasi stres dalam mengasuh anak. Orang tua bisa terpicu dengan hal-hal kecil dan bereaksi dengan amarah atau ketidakmampuan mengelola stres yang sehat. Hal ini tentunya akan berdampak langsung pada kualitas interaksi dengan anak dan kenyamanan lingkungan rumah tangga.

Dampak pada Anak Jika Orang Tua Tidak Pulih

Dampak dari pola asuh yang terpengaruh oleh inner child yang belum pulih bisa sangat luas. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian emosi sering kali mengalami kebingungan dan kesulitan memahami batas-batas yang jelas. Hal ini berpotensi menimbulkan gangguan pada perkembangan emosional dan psikologis mereka, seperti kecemasan berlebihan, perasaan tidak aman, serta rasa rendah diri yang berkelanjutan.

Tidak jarang anak-anak tersebut justru menjadi “penjaga perasaan” orang tua, yang berarti mereka tumbuh dengan beban tanggung jawab emosional yang sebenarnya bukan milik mereka. Kondisi ini bisa menghambat perkembangan kemandirian dan kebahagiaan anak di masa depan.

Generasi Milenial dan Gen Z: Melek Emosi, Tapi Belum Tuntas Pulih

Orang tua milenial dan Gen Z dikenal sebagai generasi yang lebih terbuka dalam membicarakan kesehatan mental dan emosi. Mereka lebih peka terhadap pentingnya self-awareness dan mengakui adanya luka masa lalu. Namun, kesadaran ini belum selalu diikuti dengan proses penyembuhan yang mendalam.

Tantangan utama bagi mereka adalah tekanan hidup modern yang kompleks, minimnya dukungan sosial, serta stigma yang masih melekat pada terapi dan proses healing. Banyak yang hanya menjalani self-healing secara permukaan melalui konten media sosial tanpa pendampingan profesional yang memadai. Kondisi ini menyebabkan inner child yang terluka tetap bertahan dan berpotensi mengganggu pola parenting yang diharapkan.

Kata Ahli: Kenapa Self-awareness Tidak Cukup?

Psikolog keluarga menegaskan bahwa sekadar menyadari adanya inner child yang terluka tidak cukup untuk mengatasi dampaknya pada parenting. Proses penyembuhan yang efektif membutuhkan terapi yang mendalam, refleksi diri secara berkelanjutan, dan perubahan praktik sehari-hari dalam pola asuh. Tanpa upaya tersebut, kesadaran semata bisa berujung pada perasaan bersalah yang tidak konstruktif.

Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua untuk Pulih?

Proses pemulihan inner child adalah langkah penting yang harus ditempuh oleh setiap orang tua demi menciptakan pola parenting yang sehat. Beberapa cara yang direkomendasikan oleh para ahli meliputi:

  1. Mengikuti sesi konseling atau terapi psikologis guna membongkar dan menyembuhkan trauma masa lalu.
  2. Melakukan jurnal refleksi terkait pengalaman dan pola asuh yang dihadapi.
  3. Mempelajari teknik regulasi emosi seperti mindfulness dan pernapasan sadar untuk mengelola stres.
  4. Membangun sistem pendukung yang positif, termasuk komunitas orang tua yang sehat secara emosional.

Dengan membedakan antara inner child dan anak yang sedang dibesarkan saat ini, orang tua dapat menghindari pengulangan trauma dan menghadirkan parenting yang lebih adaptif dan penuh kasih.