Belajar dari Kasus Ponpes Al Khoziny, Ini 5 Hal yang Harus Diteliti Sebelum Masukkan Anak ke Pesantren

Ilustrasi anak berdoa
Sumber :
  • ChatGPT

Lifestyle – Tragedi robohnya bangunan musala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, pada akhir September 2025, yang terjadi saat ratusan santri sedang beribadah, telah menyentak kesadaran publik tentang pentingnya standar keselamatan fisik di lingkungan pendidikan agama. Insiden memilukan ini, yang diduga kuat disebabkan oleh kegagalan konstruksi selama proses renovasi, menjadi pengingat pahit bahwa faktor keamanan struktural adalah aspek fundamental yang tidak boleh diabaikan.

Hukum Suami Pinjam Uang ke Istri, Apakah Harus Dilunasi?

Namun, selain keamanan fisik, orang tua juga dihadapkan pada kekhawatiran yang lebih kompleks terkait keamanan moral dan mental anak, terutama mengingat maraknya isu kekerasan di beberapa lembaga pendidikan. 

Memasukkan anak ke pesantren adalah ikhtiar besar dalam membentuk karakter dan spiritualitas. Oleh karena itu, proses pemilihan harus dilakukan secara holistik dan cermat. 

Profesi Tukang Listrik Kini Makin Dilirik, Gajinya Bisa Untuk Beli Rumah Tiap Tahun!

Buya Yahya memberikan panduan mendalam tentang tips memilih pondok pesantren yang aman dan tepat, dengan menekankan pada kualitas internal dan pendekatan psikologis terhadap anak. 

Berikut adalah 5 hal krusial yang harus diteliti orang tua, berlandaskan petunjuk dari Buya Yahya seperti dilansir dari kanal YouTubenya.

1. Kejelasan Akidah dan Sanad Ilmu Guru: Kunci Utama Pendidikan

Tukang Ledeng Jadi Pekerjaan Emas di Era AI, Gajinya Bikin Melongo

Dalam memilih sebuah lembaga, Buya Yahya menegaskan bahwa kunci utama dari kualitas pesantren adalah guru dan akidah yang diajarkan di dalamnya. 

Orang tua harus memastikan bahwa fondasi keimanan yang ditanamkan sesuai dengan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah dan tidak menyimpang. Lebih dari sekadar kurikulum, yang paling penting adalah kualitas keilmuan para pengajar.

"Gurunya, sanad ilmunya harus jelas," ujar Buya Yahya.

Sanad ilmu yang jelas menunjukkan kesinambungan dan validitas keilmuan dari generasi ke generasi. Meneliti rekam jejak guru, termasuk dari mana mereka belajar dan kepada siapa mereka mengambil ilmu, merupakan langkah penting untuk menjamin anak mendapatkan bimbingan spiritual dan ilmu agama yang otentik dan benar.

2. Sistem Peraturan dan Lingkungan yang 'Tidak Liar'

Keamanan seorang santri sangat bergantung pada sistem pengawasan dan lingkungan yang diciptakan pesantren. Buya Yahya menekankan perlunya memilih lingkungan yang "betul-betul sehat" [04:20], yang diimplementasikan melalui peraturan ketat.

Pembatasan Media dan Akses Luar: Pesantren yang baik adalah yang tidak membiarkan santri liar atau bebas dalam urusan media dan handphone. Selain itu, harus ada pembatasan ketat terhadap santri untuk keluar masuk pondok.

Pembatasan ini esensial karena jika santri bebas keluar, waktunya akan tersita oleh urusan luar yang membatasi fokus mereka untuk beribadah dan belajar di pondok.

Ketertiban yang Jelas: Selain akidah, peraturan dan ketertiban yang ada di pondok juga menjadi poin penting yang harus dipertimbangkan.

3. Transparansi Realitas Kehidupan Pesantren: Hindari Kebohongan

Aspek keamanan mental dan psikologis anak sering diabaikan. Buya Yahya sangat menganjurkan orang tua untuk bersikap jujur mengenai kehidupan di pesantren kepada calon santri. Jangan sampai karena terlalu bersemangat, orang tua malah melebih-lebihkan atau berbohong bahwa hidup di pondok itu "enak" tanpa kekurangan.

"Pondok ada capeknya, jangan bilang pondok enak. Bohong," tegas Buya Yahya.

Orang tua harus menyampaikan realitas yang jujur, seperti santri harus mandiri, mengantre di toilet, dan menghadapi keterbatasan fasilitas. Jika orang tua berbohong, anak yang tiba di pondok bisa mengalami stres. Menyampaikan fakta secara jujur adalah bagian dari persiapan mental anak untuk kemandirian.

4. Kompetensi Pendidik dengan Bekal Psikologi Anak

Tragedi kekerasan dan trauma di beberapa pesantren menunjukkan pentingnya memilih pendidik yang tidak hanya alim secara ilmu agama, tetapi juga kompeten dalam mengelola perkembangan psikologis anak. Buya Yahya menyoroti bahwa di zaman modern ini, pesantren harus dibekali oleh guru yang mengerti tentang psikologi anak.

Pemahaman psikologi anak sangat penting agar guru dapat membimbing dan mendidik santri dengan tepat, menghindari metode kekerasan, dan mampu menangani permasalahan mental yang mungkin timbul. Memastikan bahwa pesantren memiliki program pelatihan atau melibatkan ahli psikologi adalah langkah proaktif yang harus dilakukan orang tua.

5. Memilih dengan Cinta: Pendekatan Non-Paksaan

Meskipun orang tua memiliki harapan besar, proses memilih dan memasukkan anak ke pesantren tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Paksaan dapat mengganggu mental anak, yang pada akhirnya malah mengganggu ketertiban pondok.

Buya Yahya menyarankan, jika ingin memaksa, "paksalah dia dengan cara tidak terpaksa". Caranya adalah dengan menyenangkan anak, sering mengajaknya berkunjung ke pesantren, bercerita tentang keutamaan ulama dan pesantren, hingga membuatnya penasaran dan meminta sendiri untuk dipondokkan.

Salah satu cara unik yang disarankan Buya Yahya adalah mengajak anak berderma atau mengirim uang ke pondok yang dituju. Dengan melibatkan anak dalam kebaikan di tempat tersebut, akan muncul rasa kepemilikan dan berkah, yang lambat laun menimbulkan rasa penasaran dan keinginan untuk melihat pondok tersebut [05:18]. Ini adalah kecerdasan orang tua untuk meluluskan keinginannya tanpa kekerasan.