5 Kesalahan Orang Tua Saat Mengajari Anak, Padahal Mereka Sendiri Bingung!
- Freepik
Lifestyle –Mengajari anak belajar di rumah seharusnya menjadi momen yang menyenangkan dan mendekatkan hubungan orang tua dan anak. Sayangnya, banyak orang tua justru merasa frustrasi, terutama ketika mereka sendiri tidak terlalu paham dengan materi pelajaran anak.
Alhasil, bukan hanya anak yang tertekan, orang tua pun kelelahan emosional. Dalam kondisi seperti ini, kesalahan dalam pendekatan mudah terjadi dan bisa berdampak pada motivasi belajar anak dalam jangka panjang.
Menurut psikolog klinis dan pendiri Aha! Parenting, Dr. Laura Markham, saat orang tua terlalu fokus pada hasil, mereka kerap lupa bahwa anak sedang berada dalam proses belajar.
“Tugas orang tua bukan menjadi guru sekolah di rumah, melainkan menjadi pendukung emosi dan motivasi anak,” ungkapnya.
Berikut ini lima kesalahan paling umum yang dilakukan orang tua saat mendampingi anak belajar, beserta cara menghindarinya secara bijak.
1. Memarahi atau Meninggikan Suara Saat Anak Tak Langsung Paham
Ketika orang tua merasa frustrasi karena anak tampak ‘lambat’ atau tidak kunjung mengerti, mereka cenderung menaikkan nada suara atau bahkan memarahi. Padahal, suasana tegang membuat anak semakin sulit memahami materi karena otaknya masuk dalam mode stres.
Menurut Dr. Markham, anak-anak yang merasa ditekan atau dimarahi saat belajar akan mengaitkan proses belajar dengan rasa takut, bukan rasa ingin tahu. Ini bisa menciptakan trauma belajar, terutama pada anak usia dini.
Solusi:
Ambil jeda sejenak saat mulai emosi. Alihkan ke aktivitas ringan seperti menggambar atau bercanda singkat, lalu kembali ke materi dengan pendekatan baru. Ingatkan diri bahwa proses belajar butuh waktu dan kesabaran.
2. Memaksakan Jawaban Tanpa Penjelasan
Beberapa orang tua, karena tidak sabar atau kurang memahami materi, langsung memberi jawaban atau mendikte anak. Akibatnya, anak hanya menghafal tanpa memahami konsep, dan kehilangan kesempatan berpikir kritis.
Contohnya, ketika mengerjakan soal matematika, orang tua langsung bilang, “Jawabannya 56, tulis saja itu!” tanpa menjelaskan bagaimana cara menghitungnya. Anak mungkin menulis jawabannya, tapi esensi pembelajaran hilang.
Solusi:
Jika tidak yakin dengan jawabannya, bantu anak menelusuri cara mencari informasi bisa lewat buku, internet, atau bertanya ke guru. Jadikan ini sebagai momen bersama untuk belajar, bukan pamer jawaban.
3. Membandingkan Anak dengan Teman atau Saudara Lain
Komentar seperti “Kakakmu dulu gampang banget ngitung kayak gini,” atau “Temanmu si A sudah bisa baca cepat, kamu kok belum?” bisa sangat melukai harga diri anak. Alih-alih termotivasi, anak justru merasa dirinya gagal atau kurang berharga.
“Perbandingan hanya akan merusak rasa percaya diri anak dan membuatnya merasa dicintai secara bersyarat,” Dr. Markham menekankan.
Hal ini bisa berdampak pada rasa minder jangka panjang.
Solusi:
Fokus pada perkembangan anak secara individual. Apresiasi usaha, bukan hasil. Ucapkan kalimat seperti, “Mama lihat kamu sudah berusaha keras, dan itu yang paling penting.”
4. Memaksakan Gaya Belajar yang Tak Cocok
Setiap anak punya gaya belajar yang berbeda ada yang visual, ada yang kinestetik, ada pula yang lebih menyukai cerita. Kesalahan umum orang tua adalah menerapkan gaya belajar mereka sendiri kepada anak, tanpa mempertimbangkan kebutuhan unik anak tersebut.
Misalnya, orang tua lebih suka membaca teks panjang, padahal si anak belajar lebih baik lewat video atau gambar.
Solusi:
Amati cara anak paling cepat menangkap informasi, lalu sesuaikan metode belajar. Jika perlu, sediakan media bantu seperti flashcard, video pembelajaran, atau simulasi praktis.
5. Tidak Memberi Ruang bagi Anak untuk Bertanya atau Salah
Banyak anak merasa takut bertanya karena khawatir dianggap “bodoh”. Hal ini bisa muncul karena orang tua sering merespons dengan kalimat seperti, “Lho itu kan sudah dijelasin, kok nggak ngerti juga?” atau “Itu gampang banget, masa nggak bisa?”
Padahal, belajar sejatinya adalah tentang proses mencoba, bertanya, dan memperbaiki kesalahan.
Solusi:
Ciptakan lingkungan belajar yang aman. Ucapkan kalimat yang membuka ruang diskusi seperti, “Kita coba pahami bareng-bareng, ya,” atau “Apa bagian yang bikin kamu bingung?” Dengan begitu, anak belajar bahwa tidak tahu bukan berarti bodoh tapi bagian normal dari proses belajar.
Mengajari anak bukanlah soal jadi yang paling tahu, tapi soal membimbing dengan empati. Orang tua tak harus jadi ahli dalam semua materi. Justru, ketika orang tua menunjukkan bahwa mereka pun bisa belajar dari nol, anak akan belajar tentang kerendahan hati dan semangat belajar seumur hidup.
Seperti yang dikatakan Dr. Markham, saat orang tua hadir sebagai pendamping emosional yang hangat, anak-anak tumbuh jadi pembelajar yang percaya diri dan bahagia.
Jadi, daripada merasa harus ‘sempurna’, lebih baik hadir sebagai sosok yang sabar, mendukung, dan siap belajar bersama anak. Karena pada akhirnya, yang paling diingat anak bukanlah rumus matematika tapi bagaimana perasaan mereka saat belajar bersama orang tua.