Anak Sering Ngeyel Saat Dikasih Tahu? Mungkin Kamu Kurang Libatkan Dia dalam Prosesnya

Ilustrasi anak menjulurkan lidah
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Sebagian besar orang tua pasti pernah merasakan frustrasi saat anak terus membantah atau menolak saat diberi tahu sesuatu. Misalnya, saat disuruh mandi, anak malah berteriak, "Nggak mau!" Saat diminta merapikan mainan, jawabannya justru, "Bentar lagi, Mama!"

7 Hal yang Harus Disiapkan Sebelum Naik Pesawat, Solo Travel Pemula Harus Tahu!

Fenomena anak yang terlihat "ngeyel" atau keras kepala ini sering disalahartikan sebagai perilaku nakal atau tidak tahu aturan. Padahal, menurut psikolog klinis anak yang juga pendiri Good Inside, Dr. Becky Kennedy, sikap seperti itu bisa jadi tanda bahwa anak merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan kecil dalam hidupnya.

“Saat anak melawan, itu bukan karena mereka ingin membuat orang tua marah. Mereka ingin merasa punya kontrol atas diri mereka,” ujar Becky dalam sebuah wawancara bersama NPR.

Makanan Khas Semarang yang Bisa Disimpan Lama, Cocok buat Oleh-Oleh

Becky juga menjelaskan alasan mengapa anak sering menolak instruksi, hal ini lantaran anak-anak sebenarnya tidak suka diperintah secara langsung tanpa penjelasan atau ruang kompromi. Dalam dunia psikologi perkembangan, anak berusia 2–7 tahun sedang berada dalam fase di mana mereka mulai membangun rasa otonomi dan identitas diri. Mereka belajar berkata tidak untuk menguji apakah suara mereka dihargai.

“Anak yang sering berkata ‘tidak’ sebenarnya sedang belajar tentang siapa dirinya. Mereka sedang membangun batasan dan menguji reaksi lingkungan,” jelas Becky.

Sering Terapkan Makan Dulu Baru Berenang? Waspadai Risiko Jantung yang Tersembunyi!

Ketika orang tua selalu mendikte tanpa memberi pilihan, mendengarkan pendapat anak, atau menjelaskan alasan di balik aturan anak merasa dikontrol. Akibatnya, mereka akan melawan untuk mempertahankan ruang personal mereka.

Kurangnya Keterlibatan Artinya Kurangnya Kerja Sama

Sikap keras kepala pada anak sering kali berasal dari satu sumber utama: tidak merasa punya kendali.

Becky menekankan bahwa orang tua sering kali tergesa-gesa mengatur anak tanpa memberi kesempatan untuk berpartisipasi, meski sekadar memilih baju sendiri atau menentukan jadwal belajar.

“Kerja sama muncul dari koneksi, bukan paksaan,” tegasnya.

Anak-anak yang merasa dihargai dan dilibatkan dalam proses akan jauh lebih kooperatif. Mereka akan lebih mudah menerima aturan karena merasa menjadi bagian dari keputusan itu, bukan sebagai objek yang harus tunduk.

Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?

Berikut beberapa pendekatan berbasis psikologi yang disarankan Becky untuk menghadapi anak yang cenderung "ngeyel":

1. Alihkan dari Kontrol ke Kolaborasi

Daripada langsung berkata, “Cepat mandi sekarang!”, coba ganti dengan, “Kamu mau mandi pakai air hangat atau dingin hari ini?” atau “Mau mandi dulu atau gosok gigi dulu?”

Memberi pilihan kecil ini membuat anak merasa dilibatkan. Meski keputusan besar tetap ditentukan orang tua, anak tetap diberi ruang untuk memilih langkahnya.

2. Validasi Perasaan Anak, Bukan Mengabaikannya

Ketika anak menolak disuruh tidur, orang tua biasanya berkata, “Jangan banyak alasan!” Padahal, pendekatan yang lebih efektif menurut Becky adalah:

“Aku tahu kamu belum mau tidur karena masih ingin main. Itu memang seru ya. Tapi tubuhmu juga butuh istirahat.”

Validasi seperti ini membantu anak merasa dimengerti, yang membuka ruang bagi mereka untuk mendengarkan nasihat orang tua tanpa merasa diserang.

3. Jangan Takut Memberi Waktu Transisi

Salah satu penyebab anak membantah adalah karena mereka dipaksa berpindah aktivitas secara mendadak.

Berikan jeda, misalnya dengan berkata, “Mainnya 5 menit lagi ya, setelah itu kita bereskan bareng.” Jika perlu, gunakan timer atau hitung mundur agar anak tidak merasa diputus secara sepihak.

4. Gunakan Bahasa yang Membangun Koneksi

Alih-alih memberi perintah, cobalah ajak bicara dengan nada hangat, seperti:

  • “Kita tim yang hebat kalau bisa saling bantu.”
  • “Ibu tahu kamu bisa diandalkan, yuk bareng-bareng beresin ini.”

Kata-kata yang membangun koneksi membuat anak merasa dihargai dan cenderung lebih terbuka.

5. Ajarkan Alasan di Balik Aturan

Anak sering menolak karena mereka tidak tahu kenapa sesuatu harus dilakukan.

“Anak-anak punya rasa ingin tahu yang besar. Jika kita hanya melarang tanpa menjelaskan, mereka tidak belajar memahami konsekuensinya,” terang Becky.

Contoh: “Kita tidur lebih awal supaya besok tubuhmu kuat main di sekolah.” Atau, “Kita cuci tangan sebelum makan supaya kuman nggak masuk ke perut.”

Teori Dr. Becky didukung oleh berbagai studi tentang positive parenting dan authoritative parenting, yang menunjukkan bahwa gaya asuh dengan kombinasi disiplin dan empati menghasilkan anak yang lebih mampu mengatur emosi, lebih kooperatif dan sopan, serta lebih percaya diri dan mandiri.

Sementara gaya asuh yang terlalu otoriter justru mendorong anak untuk memberontak, menyembunyikan kesalahan, atau merasa rendah diri.

Jadi, Anak Ngeyel Itu Salah Siapa?

Bukan soal menyalahkan, tapi memahami dinamika dua arah antara anak dan orang tua. Anak ngeyel bisa jadi cerminan bahwa mereka sedang butuh didengar, dihargai, dan dilibatkan.

“Kita tidak harus kehilangan otoritas untuk bisa membangun hubungan. Justru lewat koneksi yang hangat, otoritas kita akan lebih diterima,” ungkap Becky.

Anak yang terlihat ngeyel bukan selalu anak nakal. Dalam banyak kasus, mereka hanya ingin menunjukkan bahwa mereka punya suara. Dan sebagai orang tua, tugas kita bukan sekadar membuat anak patuh, tapi membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang bisa bekerja sama karena merasa dihargai, bukan dipaksa.

Dengan sedikit perubahan pendekatan dari memerintah menjadi mengajak kerja sama banyak konflik bisa dihindari. Hubungan orang tua-anak pun jadi lebih sehat, saling percaya, dan penuh kasih.