Kenapa Anak Zaman Sekarang Lebih Suka Main Game daripada Baca Buku?
- Pixabay
Lifestyle –Di era digital 2025, banyak orang tua mengamati bahwa anak-anak mereka lebih tertarik menghabiskan waktu bermain game di perangkat elektronik dibandingkan membaca buku. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan preferensi, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, dinamika sosial, dan faktor psikologis yang membentuk perilaku anak.
Sementara buku menawarkan manfaat kognitif yang mendalam, game digital memiliki daya tarik tersendiri yang sulit ditolak oleh generasi muda.
Berikut adah alasan utama mengapa anak-anak zaman sekarang lebih memilih bermain game daripada membaca buku.
1. Daya Tarik Interaktivitas dan Stimulasi Visual
Game digital dirancang untuk memberikan pengalaman interaktif yang melibatkan anak secara langsung melalui grafis menarik, suara dinamis, dan mekanisme permainan yang responsif. Menurut penelitian dari Common Sense Media pada 2023, anak usia 8–18 tahun menghabiskan rata-rata 2,5 jam per hari untuk bermain game, dibandingkan hanya 30 menit untuk membaca buku di luar tugas sekolah.
Game seperti Minecraft atau Roblox menawarkan dunia virtual yang memungkinkan anak berkreasi dan berinteraksi, memberikan rasa kontrol dan pencapaian instan. Sebaliknya, buku membutuhkan imajinasi aktif dan proses kognitif yang lebih lambat, yang mungkin kurang menarik bagi anak yang terbiasa dengan stimulasi cepat dari layar.
2. Pengaruh Media Sosial dan Tren Digital
Platform media sosial seperti TikTok dan YouTube memainkan peran besar dalam mempopulerkan budaya gaming di kalangan anak-anak. Konten seperti streaming gameplay atau tutorial game dari content creator seperti Jess No Limit di Indonesia atau MrBeast secara global mendorong anak untuk mencoba game yang sedang viral.
Berdasarkan laporan DCDX 2024, 68% anak usia 10–14 tahun di Indonesia terinspirasi untuk bermain game setelah menonton konten digital. Buku, di sisi lain, kurang mendapat eksposur serupa karena jarang dipromosikan dengan cara yang sama menariknya di media sosial, membuatnya kalah bersaing dalam menarik perhatian Gen Alpha dan Gen Z.
3. Sistem Penghargaan Instan dalam Game
Game digital sering kali menggunakan sistem penghargaan seperti poin, level, atau in-game rewards untuk menjaga keterlibatan pemain. Menurut psikolog Dr. Pamela Rutledge dalam Psychology Today (2023), mekanisme ini memicu pelepasan dopamin di otak, menciptakan rasa senang yang membuat anak ingin terus bermain. Sebagai contoh, game seperti Genshin Impact memberikan hadiah harian yang memotivasi anak untuk kembali.
Membaca buku, meskipun bermanfaat untuk perkembangan kognitif jangka panjang, tidak memberikan kepuasan instan serupa, sehingga anak-anak cenderung memilih aktivitas yang lebih langsung memuaskan.
4. Aksesibilitas dan Kemudahan Teknologi
Kemajuan teknologi telah membuat perangkat seperti ponsel, tablet, dan konsol game seperti PlayStation atau Nintendo Switch mudah diakses oleh anak-anak. Di Indonesia, survei APJII 2024 menunjukkan bahwa 78% anak usia 6–12 tahun memiliki akses ke ponsel pintar.
Game dapat dimainkan kapan saja dengan antarmuka yang ramah pengguna, sementara buku fisik atau e-book memerlukan usaha lebih, seperti pergi ke perpustakaan atau membeli secara online.
Selain itu, harga buku di Indonesia, yang rata-rata berkisar antara Rp50.000–Rp150.000, bisa menjadi hambatan bagi keluarga dengan anggaran terbatas, sedangkan banyak game mobile seperti Mobile Legends tersedia gratis dengan opsi pembelian dalam aplikasi.
5. Faktor Sosial dan Interaksi dengan Teman
Bermain game sering kali menjadi aktivitas sosial yang memungkinkan anak berinteraksi dengan teman sebaya melalui fitur multiplayer atau komunitas online. Game seperti Among Us atau Free Fire memungkinkan anak-anak bermain bersama teman secara virtual, menciptakan ikatan sosial yang kuat.
Menurut studi dari Oxford Internet Institute (2022), anak-anak yang bermain game multiplayer melaporkan tingkat kepuasan sosial lebih tinggi dibandingkan mereka yang membaca sendirian. Membaca buku, meskipun dapat dilakukan dalam kelompok diskusi, cenderung bersifat individu dan kurang menawarkan interaksi langsung yang diinginkan anak-anak di era digital ini.
Tips untuk Orang Tua
Untuk menyeimbangkan minat anak antara game dan membaca, orang tua dapat menerapkan beberapa strategi. Pertama, perkenalkan buku dengan format interaktif seperti novel grafis atau e-book dengan elemen multimedia untuk menarik perhatian anak.
Kedua, tetapkan batas waktu bermain game, misalnya 1–2 jam per hari, dan dorong membaca sebagai bagian dari rutinitas harian. Ketiga, pilih buku yang sesuai dengan minat anak, seperti seri petualangan atau fiksi ilmiah, yang tersedia di toko buku seperti Gramedia dengan harga mulai dari Rp30.000 untuk edisi saku.
Terakhir, ciptakan lingkungan membaca yang menyenangkan dengan mendiskusikan cerita bersama anak atau mengunjungi perpustakaan lokal untuk menumbuhkan kebiasaan membaca.