Biar Nggak Nangis di Gerbang! Ini Cara Bikin Hari Pertama Sekolah Jadi Momen Ceria

Ilustrasi anak SD
Sumber :
  • Shuttershock

Lifestyle – Hari ini, Senin 14 Juli 2025 anak-anak mulai kembali bersekolah usai libur kenaikan semester.  Bagi banyak orang tua, hari pertama anak masuk sekolah jadi momen yang mengharukan sekaligus bikin deg-degan.

Dulu Bilang Nggak Mau, Sekarang Minta? Kenapa Kita Sering Menjilat Ludah Sendiri

Di satu sisi, kita bangga lantaran anak kita tumbuh, siap belajar dan bersosialisasi. Tapi di sisi lain, siapa sih yang nggak sedih lihat anak menangis sesenggukan di gerbang sekolah, memeluk erat kaki mamanya, tak mau lepas?

Air mata di hari pertama sekolah adalah hal yang sangat umum. Tapi tahukah kamu, sebenarnya momen ini bisa kita bantu ubah jadi kenangan yang manis dan penuh semangat?

Kenapa Dicium di Kening Bikin Perempuan Merasa Nyaman? Ini Jawaban Psikologisnya

Menurut psikolog klinis anak dan pendiri Aha! Parenting, Dr. Laura Markham, anak-anak bukan menolak sekolah mereka hanya butuh merasa aman menghadapi dunia baru. Rasa aman itu, kata dia paling pertama dan paling kuat, datang dari orang tuanya.

“Anak-anak tidak menolak sekolah. Mereka hanya butuh merasa aman saat menghadapi dunia baru,” kata dia.

Dampak Buruk Kebiasaan Bandingkan Anak dengan Orang Lain

Lantas mengapa banyak anak sering menangis di hari pertama mereka sekolah? Menangis di hari pertama bukan berarti anak tidak siap sekolah. Justru itu adalah tanda bahwa mereka sedang mencari rasa aman dalam situasi baru. Bayangkan, selama ini mereka setiap hari bersama Mama atau Papa, lalu tiba-tiba harus masuk ke lingkungan asing, dikelilingi orang-orang yang belum mereka kenal.

Dr. Laura Markham menjelaskan bahwa tangisan adalah bentuk komunikasi emosional. Anak belum mampu mengungkapkan, “Aku takut,” atau “Aku butuh Mama.” Maka keluarlah tangisan, pelukan erat, dan ekspresi cemas yang sering dianggap ‘drama’. Padahal, ini adalah cara anak memberitahu kita bahwa dia belum merasa tenang.

Hal yang sering terjadi adalah anak menangis lantas orang tua panik. Hal ini akan membuat anak tambah panik karena merasakan kegelisahan orang tuanya juga. Inilah kenapa emosi orang tua sangat memengaruhi emosi anak.

Persiapan Emosional Dimulai Jauh Sebelum Hari H

Salah satu kunci agar anak tidak menangis di hari pertama sekolah adalah menyiapkan emosinya secara bertahap. Idealnya, 3 hari sebelumnya sudah mulai dilakukan:

  • Ajak ngobrol santai soal sekolah.
    Hindari kata-kata menakutkan (“nanti harus disiplin ya, nggak boleh nakal!”) dan ganti dengan cerita positif (“nanti di sekolah kamu bisa main perosotan, lho”).
  • Simulasikan hari sekolah lewat main peran.
    Jadi guru-guruan di rumah, bermain pura-pura antar jemput, atau membacakan cerita tentang anak yang senang sekolah. Menurut Markham, simulasi ini membantu anak memetakan situasi baru dengan cara menyenangkan.
  • Gunakan afirmasi positif.
    Katakan: “Mama percaya kamu bisa menikmati sekolah. Kamu anak yang pemberani.” Anak yang merasa dipercayai akan punya kepercayaan diri lebih besar.

Malam Sebelum Sekolah: Jangan Ada Drama Baru

Malam sebelum hari besar harus dibuat senyaman mungkin. Jangan begadang, hindari tontonan yang terlalu stimulatif, dan pastikan suasana rumah kondusif untuk tidur lebih awal.

Libatkan anak saat menyiapkan perlengkapan sekolah, biarkan ia memilih botol minum, kotak bekal, atau baju seragam favorit. Ini bukan soal estetika, tapi soal keterlibatan. Ketika anak merasa dilibatkan, ia akan merasa punya kendali terhadap apa yang akan ia hadapi.

Markham menyarankan untuk membuat rutinitas yang dapat diprediksi. Jadwal yang konsisten (bangun–mandi–sarapan–berangkat) akan membantu anak merasa aman dan tahu apa yang diharapkan darinya.

Hari H: 6 Langkah untuk Mengantar Anak Tanpa Air Mata

Berikut adalah enam langkah praktis yang direkomendasikan oleh Laura Markham agar proses mengantar anak di hari pertama berjalan lebih damai:

1. Bangun pagi tanpa terburu-buru.

Ketergesaan adalah musuh terbesar emosi positif. Anak akan lebih gelisah kalau ia merasa semua orang di rumahnya terburu-buru dan tegang.

2. Jaga wajah dan nada bicara tetap tenang.

Wajah Mama yang tegang bisa membuat anak ikut tegang. Sebaliknya, nada hangat dan ekspresi rileks akan menular ke anak.

3. Peluk anak dan validasi perasaannya.

“Kamu deg-degan ya? Itu wajar kok. Mama juga dulu waktu kecil begitu.”
Validasi emosi membuat anak merasa dimengerti dan tidak sendirian.

4. Berpisahlah dengan cepat, tapi hangat.

Jangan terlalu lama di gerbang. Peluk, cium, ucapkan kalimat manis seperti “Mama tunggu kamu pulang, ya!”, lalu pergi dengan yakin. Panjang-panjang di gerbang justru membuat anak makin cemas.

5. Beri kepastian akan penjemputan.

“Selesai makan siang, Mama jemput ya.” Kalimat seperti ini menciptakan prediksi yang memberi rasa aman.

6. Hindari ancaman atau iming-iming berlebihan.

Kalimat seperti “jangan nangis ya, nanti Mama marah” atau “ayo dong, nanti dibeliin mainan” tidak membantu. Anak butuh dukungan, bukan tekanan atau janji kosong.

“Perpisahan yang jelas dan tenang lebih menenangkan daripada janji-janji tidak realistis,” kata  Laura Markham.

Kalau Anak Tetap Menangis, Apa yang Harus Dilakukan?

Tenang. Tangisan bukan kegagalan. Ini bagian dari proses adaptasi. Jangan langsung berpikir bahwa anak belum siap sekolah.

Berikan pelukan singkat, ucapkan kalimat penguatan, lalu percayakan pada guru. Jangan kembali setelah meninggalkan anak, karena ini akan membingungkan dan memperburuk kecemasan.

Markham menegaskan bahwa tugas orang tua adalah menjadi jangkar emosi anak, bahkan saat kita harus melepas mereka untuk menghadapi dunia sendiri.

Libatkan Guru, Bangun Kolaborasi Sejak Awal

Guru adalah orang tua kedua di sekolah. Komunikasikan kebutuhan khusus anak sejak awal, misalnya jika anak pemalu, mudah cemas, atau butuh pendekatan tertentu. Saat anak melihat Mama atau Papa percaya pada gurunya, ia akan ikut merasa aman.

Markham juga menyarankan agar orang tua tidak overprotective, tapi tetap responsif. Artinya, percayakan anak belajar mandiri, namun tetap siaga jika mereka butuh bercerita atau merasa kewalahan.

Setelah Pulang: Jadikan Rumah Tempat Aman untuk Bercerita

Setelah sekolah, jangan buru-buru menginterogasi anak: “Tadi nangis nggak?”, “Kenapa nggak makan semua?”, atau “Ada temen nggak?”

Biarkan anak bercerita dengan ritmenya sendiri. Kadang mereka butuh waktu untuk memproses pengalaman. Cukup sediakan waktu berkualitas: peluk, dengarkan, ajak makan bersama.

Berikan respon yang menenangkan dan afirmatif:
“Wah, kamu hebat banget ya bisa sekolah hari ini.”
“Kamu berani banget, padahal pasti rasanya deg-degan.”

Itulah kalimat yang akan tertanam dalam memorinya, jauh lebih kuat dari apapun yang kamu masukkan ke dalam kotak bekalnya.