Kenapa Ibu Lebih Sering Bertengkar Sama Anak Perempuannya Dibanding Anak Laki-laki? Ini Jawabannya!

Ilustrasi ibu dan anak perempuan berselisih paham
Sumber :
  • iStock

Lifestyle –Pernah melihat ibu dan anak perempuannya saling beradu argumen soal hal-hal yang tampak remeh? Mulai dari pilihan baju, gaya rambut, teman nongkrong, sampai cara menyusun kalimat di media sosial? Anehnya, pertengkaran ini bisa cepat membesar, padahal awalnya cuma soal pakai baju itu ke mana?

Waspadai 7 Tanda Ini, Bisa Jadi Anak Anda Sedang Merasa Diabaikan

Sementara itu, dengan anak laki-laki, ibu terlihat lebih santai. Jarang ada bentrokan keras. Bahkan banyak ibu mengaku, 'Kalau sama anak cowok tuh lebih gampang, nggak drama'.

Lantas, kenapa justru relasi sesama perempuan ini antara ibu dan anak Perempuan sering kali jadi penuh gesekan? Bukankah seharusnya lebih akrab karena sama-sama perempuan?

9 Cara Merangsang Anak agar Suka Membaca, Cocok untuk Orang Tua Zaman Now!

Ternyata, jawabannya bukan karena benci, tapi justru karena kedekatan emosional yang sangat dalam. Menurut psikolog perkembangan dari Yale University sekaligus penulis buku Untangled dan The Emotional Lives of Teenagers, Dr. Lisa Damour, konflik antara ibu dan anak perempuan adalah sesuatu yang wajar dan sangat bisa dijelaskan secara ilmiah.

Dr. Damour menjelaskan bahwa hubungan ibu-anak perempuan cenderung lebih dekat secara emosional dibandingkan dengan relasi ibu-anak laki-laki. Namun justru karena kedekatan itu, potensi konflik juga jauh lebih besar.

10 Pola Asuh Ini Bikin Anak Lebih Cerdas dan Sukses di Masa Depan, Sudah Terapkan yang Mana?

"Ibu dan anak perempuan biasanya terhubung dalam level yang lebih dalam secara emosional, sosial, bahkan gaya hidup. Tapi justru di situlah akar masalah muncul. Kedekatan ini sering kali disertai ekspektasi tinggi dari kedua belah pihak," ujar Damour.

Anak perempuan, terutama ketika remaja dan beranjak dewasa, sedang dalam proses menemukan jati dirinya. Proses ini sering kali dilakukan dengan membedakan diri dari ibu mereka. Jadi ketika ibu terlalu terlibat, mengatur, atau memberi komentar, anak bisa merespons dengan defensif. Dalam pandangan si anak, ibu bukan sekadar membimbing tapi mengganggu proses pembentukan identitas.

Di sisi lain, ibu sering kali merasa tersinggung, seolah-olah ditolak sebagai sosok yang dulu sangat dihormati oleh anaknya. Inilah dinamika emosional yang rumit.

Selain faktor emosional, ada juga tekanan sosial yang membentuk pola hubungan ini. Dalam banyak budaya termasuk di Indonesia, anak perempuan sering dibesarkan dengan lebih banyak aturan dan ekspektasi seperti harus sopan, anggun, patuh, pintar, dan bisa mengurus rumah.

Ibu, yang hidup dengan nilai-nilai tersebut sejak muda, merasa memiliki tanggung jawab untuk ‘mentransfer nilai’ itu kepada anak perempuannya. Masalahnya, dunia sudah berubah. Gaya hidup anak-anak zaman sekarang jauh lebih ekspresif dan bebas. Ketika ibu berusaha menjaga nilai lama, anak merasa dikekang dan tidak dipercaya.

Menurut Damour, ini disebut sebagai gendered pressure, tekanan yang diwariskan dari satu generasi perempuan ke generasi berikutnya, tanpa disadari. Sebab bentuknya bukan larangan kasar, tapi berupa komentar halus seperti:

  • “Kamu nggak malu pakai baju kayak gitu?”
  • “Mama dulu waktu seumur kamu, nggak pernah keluar malam.”
  • “Jangan ketawa keras-keras, nggak sopan kelihatannya.”

Kalimat seperti ini terdengar seperti perhatian, tapi bisa terasa seperti kritik keras bagi anak. Dari situlah awal pertengkaran sering muncul.

Sebaliknya, relasi ibu dan anak laki-laki cenderung lebih rileks. Banyak ibu secara sadar maupun tidak, membebaskan anak laki-laki mereka lebih banyak. Ketika anak laki-laki bersikap pasif atau tidak terlalu komunikatif, ibu cenderung memaklumi. ‘Namanya juga cowok, nggak suka cerita,’ begitu biasanya.

Selain itu, ibu jarang ‘bercermin’ pada anak laki-laki. Mereka tidak merasa bahwa masa depan atau nilai-nilai dirinya sedang ‘ditantang’. Akibatnya, ruang konflik pun jadi lebih sempit.

Namun, ini bukan berarti relasi ibu-anak laki-laki lebih kuat. Menurut Damour, justru sering kali relasinya lebih jauh secara emosional, hanya saja lebih sedikit gesekan karena tidak terlalu dalam secara interaksi.

Mirip Tapi Beda Prinsip: Pemicu Utama Gesekan

Hal yang membuat ibu dan anak perempuan sering bentrok justru karena mereka terlalu mirip, tapi punya nilai yang berbeda. Sama-sama kuat, sama-sama punya opini, sama-sama ingin didengar, tapi pandangan hidup mereka dibentuk dari era yang sangat berbeda.

Damour menyebut ini sebagai identity tension, ketegangan antara dua perempuan kuat dalam satu relasi vertikal ibu dan anak, di mana masing-masing ingin mempertahankan keunikan dirinya.

Ibu kadang merasa anak perempuan ‘meniru’ tapi tidak sepenuhnya menghargai nilai-nilai yang diajarkan. Sementara anak merasa ibu ingin menjadikannya “versi muda sang ibu” yang sempurna.

Banyak konflik muncul dari perbedaan cara mencintai. Ibu menunjukkan kasih sayang lewat kontrol, memastikan anak perempuan tidak salah jalan, memilih pasangan yang baik, menjaga penampilan, dan sebagainya. Tapi anak tidak melihatnya sebagai cinta. Namun yang mereka rasakan justru tidak dipercaya, tidak dianggap dewasa, tidak didengarkan.

Damour menjelaskan, saat anak perempuan mulai remaja, kebutuhan utamanya bukan lagi perlindungan, melainkan pengakuan sebagai individu. Konflik akan muncul jika ibu tidak menyesuaikan pendekatannya dari mengasuh menjadi menemani.

Meski rumit, hubungan ibu dan anak perempuan tetap bisa menjadi sangat kuat dan sehat asal dibangun dengan komunikasi yang lebih terbuka dan saling menghargai.

Beberapa tips dari Dr. Damour:

  • Ubah kritik jadi pertanyaan. Alih-alih berkata, “Bajumu norak,” coba tanya, “Kenapa kamu pilih baju itu hari ini?”
  • Dengarkan tanpa langsung memberi saran. Kadang anak hanya butuh didengar, bukan diatur.
  • Hormati privasi anak. Anak perempuan butuh ruang aman untuk mengekspresikan diri.
  • Bangun waktu netral bersama. Ajak nonton, masak bareng, atau jalan santai tanpa tujuan koreksi.

Ibu juga bisa mengingatkan diri bahwa anak bukanlah duplikat dirinya. Mereka adalah individu yang berbeda dan sedang belajar menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.