Tahun Ke-3, Ujian Terberat Pernikahan? Fakta atau Mitos
- Freepik
Lifestyle –Banyak orang percaya ada semacam kutukan di tahun ke-3 pernikahan. Istilahnya dikenal sebagai the 3-year itch, yaitu masa ketika hubungan rumah tangga mulai goyah setelah melewati fase awal yang penuh cinta dan kebahagiaan.
Tapi, apakah benar tahun ke-3 adalah titik rapuh dalam pernikahan, atau sebenarnya hanya mitos yang terlalu dibesar-besarkan?
Pertama mari pahami apa itu the 3-year itch. Istilah ini muncul sebagai turunan dari 7-year itch yang populer di budaya Barat, yakni keyakinan bahwa gairah pernikahan akan meredup di tahun ketujuh. Namun dalam beberapa dekade terakhir, banyak media menyebut bahwa penurunan kepuasan justru terjadi lebih cepat, sekitar tahun ke-3.
Menurut mitos ini, di tahun ketiga pasangan mulai kehilangan romantisme, lebih sering bertengkar, dan bahkan ada yang memilih berpisah. Namun, psikologi hubungan menunjukkan bahwa cerita ini tidak sepenuhnya sederhana.
Dari Honeymoon ke Realita
Pada tahun-tahun pertama, pasangan biasanya berada di fase honeymoon penuh gairah, romantis, dan cenderung mengabaikan perbedaan kecil. Perasaan ini didorong oleh hormon dopamin dan oksitosin yang tinggi, membuat hubungan terasa indah dan menggebu.
Namun, memasuki tahun ke-3, banyak pasangan mulai berhadapan dengan realita. Rutinitas sehari-hari, pekerjaan yang menyita waktu, urusan finansial, hingga perbedaan kebiasaan yang awalnya dianggap sepele kini semakin terasa.
Di sinilah pernikahan diuji. Cinta yang awalnya penuh euforia berubah menjadi cinta yang lebih dewasa dan membutuhkan usaha untuk tetap bertahan.
Faktor yang Memicu Krisis Tahun ke-3
1. Penurunan Gairah dan Keintiman
Secara biologis, rasa jatuh cinta yang intens biasanya menurun setelah 18–36 bulan. Jika tidak diimbangi dengan keintiman emosional dan komunikasi, pasangan bisa salah mengira bahwa cinta sudah hilang.
2. Perbedaan Nilai atau Kebiasaan
Di awal pernikahan, pasangan sering menoleransi perbedaan. Tapi lama-kelamaan, hal kecil seperti gaya hidup, kebiasaan makan, atau cara mengatur rumah bisa jadi pemicu pertengkaran.
3. Tekanan Ekonomi dan Karier
Tahun ke-3 sering bertepatan dengan fase membangun karier, menabung untuk rumah, atau mempersiapkan anak. Tekanan finansial ini dapat memperbesar konflik.
4. Ekspektasi yang Tak Realistis
Banyak orang masuk pernikahan dengan harapan bahagia selamanya. Saat kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi, muncullah rasa kecewa yang memicu pertengkaran.
Menurut pakar psikologi hubungan dari University of Washington sekaligus pendiri The Gottman Institute, Dr. John Gottman kegagalan pernikahan tidak ditentukan oleh tahun ke-3, ke-5, atau ke-7. Yang menentukan adalah pola interaksi sehari-hari antara pasangan.
Ia menjelaskan bahwa bukan momen besar yang merusak hubungan, melainkan kebiasaan kecil yang diulang-ulang.
“Hal-hal kecil yang sering dilakukanlah yang menentukan sebuah pernikahan berhasil atau gagal,” kata Gottman.
Artinya, kalau pasangan terbiasa saling merespons dengan perhatian, sekecil apa pun itu, hubungan akan semakin kuat. Sebaliknya, jika terbiasa dengan kritik, sarkasme, atau sikap meremehkan, maka konflik akan makin menumpuk.
Fakta atau Mitos: Apakah 3-Year Itch Nyata?
Beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa banyak pasangan mengalami penurunan kepuasan pernikahan di tahun ke-3 hingga ke-5. Namun, tidak ada bukti ilmiah bahwa angka 3 adalah titik universal di mana semua pasangan goyah.
Lebih tepatnya, “3-year itch” hanyalah simbol dari fase transisi awal pernikahan. Bagi sebagian pasangan, krisis bisa datang di tahun ke-2, ke-5, atau bahkan tidak sama sekali.
Cara Menghadapi Transisi Tahun ke-3
Jika Anda atau pasangan merasa hubungan mulai goyah di tahun ke-3, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Perbaiki Pola Komunikasi
Hindari membuka percakapan dengan nada tuduhan. Mulailah dengan perasaan pribadi, misalnya: “Aku merasa kewalahan akhir-akhir ini,” dibanding “Kamu tidak pernah membantu.”
2. Jaga Keintiman Kecil
Keintiman tidak selalu soal seks atau liburan romantis. Bisa berupa pelukan singkat, ucapan terima kasih, atau mendengarkan pasangan bercerita tanpa distraksi.
3. Kelola Ekspektasi
Sadari bahwa cinta berubah bentuk seiring waktu. Dari rasa jatuh cinta yang penuh gairah menjadi kedekatan yang stabil dan mendalam.
4. Bangun Pertumbuhan Bersama
Buat visi jangka panjang sebagai pasangan: apakah ingin membeli rumah, menabung untuk pendidikan anak, atau merintis bisnis bersama. Tujuan bersama bisa menjadi perekat yang kuat.
5. Jangan Ragu Cari Bantuan Profesional
Jika konflik terus berulang dan pola komunikasi semakin negatif, jangan menunggu sampai terlambat. Konseling pasangan bisa membantu membuka cara pandang baru dan menyembuhkan luka emosional.