Kenapa Banyak Pernikahan Runtuh di Tahun ke-5? Ini Penjelasan Ahli
- AI
Lifestyle –Banyak orang membayangkan pernikahan akan makin kokoh seiring waktu. Namun faktanya, cukup banyak rumah tangga yang justru runtuh di tahun-tahun awal, khususnya di sekitar tahun ke-5.
Laporan dari LHudspeth Family Law menyebut bahwa sekitar 1 dari 5 pernikahan pertama berakhir dengan perceraian dalam 5 tahun pertama. Sementara itu di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag) mencatat bahwa 60 persen kasus perceraian di Indonesia didominasi oleh pasangan yang usia pernikahannya masih di bawah lima tahun.
Fenomena ini sering disebut sebagai 'the 5-year mark', titik di mana cinta diuji oleh rutinitas, tanggung jawab baru, dan ekspektasi yang berubah. Pertanyaannya, kenapa tahun ke-5 begitu krusial?
The 5-year mark adalah fase transisi di mana pasangan melewati masa adaptasi awal pernikahan dan masuk ke komitmen jangka panjang. Di titik ini, biasanya pasangan sudah:
- Mengalami kelahiran anak atau masa balita.
- Menghadapi tekanan ekonomi nyata (cicilan rumah, biaya sekolah, kebutuhan harian).
- Menjalani rutinitas padat yang membuat percakapan romantis berubah menjadi sekadar “siapa yang belanja, siapa yang antar anak.”
Peneliti hubungan John Gottman dan timnya mengamati pasangan selama bertahun-tahun dan menemukan bahwa pola kecil sehari-hari bisa memprediksi apakah sebuah pernikahan akan bertahan atau runtuh.
Faktor Utama yang Membuat Tahun ke-5 Jadi Rapuh
1. Anak Kecil: Perubahan Besar dalam Dinamika
Banyak studi menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan cenderung menurun setelah kelahiran anak pertama. Kurang tidur, perubahan identitas dari pasangan menjadi orang tua, serta pembagian tugas rumah tangga bisa memicu konflik. Pasangan sering merasa perhatian yang dulu penuh cinta berubah menjadi perebutan giliran bangun malam atau siapa yang mencuci botol susu.
2. Tekanan Ekonomi
Biaya hidup, cicilan, atau perbedaan cara mengelola uang menjadi pemicu pertengkaran yang klasik. Penelitian menemukan bahwa tekanan finansial secara langsung berkaitan dengan menurunnya kepuasan pernikahan. Uang bukan sekadar soal nominal, melainkan simbol stabilitas, rasa aman, bahkan keadilan dalam kontribusi.
3. Rutinitas dan Kelelahan Hubungan
Di tahun-tahun awal, percakapan penuh canda dan rencana masa depan. Namun, memasuki tahun ke-5, interaksi sering terjebak dalam rutinitas: logistik anak, pekerjaan, tagihan. Akibatnya, pasangan bisa mengalami emotional drift, hubungan terasa hambar dan kehilangan percikan.
4. Ekspektasi yang Mulai Berbeda
Manusia terus berkembang. Kadang, arah pertumbuhan individu berbeda dengan pasangan. Misalnya, satu ingin fokus karier, yang lain ingin lebih banyak waktu keluarga. Perbedaan ekspektasi ini, jika tak dikomunikasikan dengan sehat, bisa jadi jurang pemisah.
Pola Komunikasi yang Merusak: Temuan John Gottman
John Gottman, psikolog hubungan terkemuka, menemukan bahwa perceraian bisa diprediksi dengan akurasi tinggi hanya dengan mengamati interaksi pasangan. Temuan utamanya dikenal dengan Four Horsemen of the Apocalypse yakni Kritik (criticism), defensif (defensiveness), menutup diri (stonewalling) dan kontempt (contempt). Dari keempatnya, kontempt adalah yang paling berbahaya.
“Kontempt adalah prediktor tunggal terkuat perceraian,” kata dia.
Kontempt muncul dalam bentuk sarkasme, ejekan, atau tatapan merendahkan. Jika ini sudah jadi pola komunikasi sehari-hari, rasa hormat dan kagum, pondasi utama pernikahan akan hancur.
Tanda Peringatan di Tahun ke-5
Beberapa red flag yang sering muncul:
- Percakapan didominasi urusan logistik, bukan keintiman.
- Jarang atau tidak ada lagi momen “terima kasih” kecil.
- Mulai sering ada sarkasme atau ejekan.
- Rencana masa depan tidak lagi sejalan.
- Salah satu atau keduanya menghindari diskusi serius.
Cara Mencegah Runtuhnya Pernikahan di Tahun ke-5
1. Perbaiki Pola Komunikasi
Gunakan teknik soft start-up saat memulai percakapan (misalnya, “Aku merasa kewalahan akhir-akhir ini,” bukan “Kamu nggak pernah bantu”). Belajar membedakan komplain (fokus pada masalah) dengan kritik (fokus pada pribadi).
2. Saling Menanggapi Upaya Koneksi
Gottman menyebut ini sebagai turning toward. Respon kecil seperti mengangguk saat pasangan bercerita, membalas senyuman, atau sekadar mematikan TV ketika pasangan ingin bicara. Hal-hal kecil ini ternyata sangat menentukan kelanggengan hubungan.
3. Atur Ulang Pembagian Tugas Setelah Punya Anak
Buat kesepakatan jelas soal giliran jaga anak atau pekerjaan rumah. Dengan begitu, salah satu pihak tidak merasa terbebani sendiri.
4. Transparan soal Keuangan
Jadwalkan diskusi keuangan rutin, misalnya seminggu sekali. Gunakan aturan no shame, tidak ada yang dipermalukan karena kesalahan finansial. Jika perlu, cari bantuan penasihat keuangan.
5. Bangun Kembali Ritual Keintiman
Tidak harus mewah. Bisa berupa date night sederhana, ucapan terima kasih sebelum tidur, atau pelukan setiap pagi. Ritual kecil ini menjadi lem yang menjaga keintiman tetap hangat.
6. Cari Bantuan Profesional Jika Diperlukan
Jika pola komunikasi merusak sudah menetap terutama kontempt, jangan menunda konseling pasangan. Semakin cepat ditangani, semakin besar peluang memperbaiki hubungan.