Mengenal Fenomena Quiet Covering, Cara Gen Z Bertahan di Lingkungan Kerja
- Freepik
Lifestyle – Gen Z dikenal sebagai generasi yang terbuka, kreatif, dan sadar akan isu sosial. Namun, di lingkungan kerja, banyak dari mereka ternyata menerapkan praktik yang disebut quiet covering.
Fenomena ini muncul karena tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma profesional dan harapan perusahaan. Gen Z yang biasanya ekspresif dan beragam dalam identitas pribadi kini memilih menahan sebagian sisi diri mereka agar lebih mudah diterima.
Fenomena quiet covering mencerminkan dilema modern: antara menjadi otentik dan diterima di lingkungan profesional. Studi internasional menunjukkan bahwa praktik ini berkembang sebagai respons terhadap stigma atau stereotip tertentu, sekaligus dorongan untuk mempertahankan peluang karir.
Meskipun dimaksudkan untuk melindungi diri, quiet covering bisa berdampak pada kesejahteraan mental dan kreativitas individu.
Apa Itu Quiet Covering?
Quiet covering adalah bentuk menyembunyikan atau meredam aspek identitas diri yang dianggap berbeda atau “berbeda dari norma” agar tidak menarik penilaian negatif di tempat kerja.
Konsep ini merupakan adaptasi dari teori covering oleh Kenji Yoshino, yang menyebutkan bahwa individu menyesuaikan diri agar sesuai dengan standar sosial atau profesional tertentu.
Gen Z, dalam konteks pekerjaan, sering menahan ekspresi tertentu dari diri mereka—baik itu pandangan pribadi, kondisi kesehatan mental, latar belakang budaya, atau preferensi gaya hidup—untuk tampil lebih “profesional” dan aman.
Mengapa Gen Z Melakukan Quiet Covering
1. Tekanan profesional dan keinginan diterima
Banyak Gen Z merasa harus tampil sempurna dan sesuai ekspektasi agar dianggap kompeten atau layak promosi. Menunjukkan sisi berbeda atau pribadi dianggap bisa menghambat penerimaan mereka.
2. Takut diskriminasi atau penilaian negatif
Identitas tertentu, seperti orientasi seksual, kondisi kesehatan mental, atau latar belakang budaya, masih dapat memicu persepsi negatif di kantor. Karena itu, Gen Z lebih memilih menahan bagian tersebut.
3. Norma perusahaan yang seragam
Standar informal mengenai perilaku, penampilan, dan ekspresi emosional mendorong pekerja untuk menyesuaikan diri agar tidak terlihat “berbeda” dari mayoritas.
4. Persepsi risiko pada kesehatan mental
Terlalu terbuka tentang masalah mental atau stres dapat memengaruhi cara perusahaan menilai kompetensi dan peluang karir seseorang, sehingga beberapa Gen Z memilih menyembunyikan kondisi tersebut.
Dampak Quiet Covering terhadap Gen Z dan Lingkungan Kerja
1. Stres dan kelelahan mental
Menyembunyikan sisi pribadi secara terus-menerus membutuhkan energi emosional yang besar, menimbulkan beban psikologis dan kelelahan mental.
2. Turunnya kepuasan kerja dan keterlibatan
Ketika seseorang merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri, keterikatan emosional terhadap pekerjaan dan perusahaan menurun.
3. Penghambat kreativitas dan inovasi
Sisi identitas atau pandangan pribadi yang ditutupi sering menjadi sumber ide baru. Quiet covering membatasi kontribusi unik individu dalam tim atau proyek.
4. Konsekuensi jangka panjang terhadap karir
Praktik ini dapat membatasi kesempatan membangun relasi kerja otentik, networking yang efektif, dan dukungan profesional, sehingga memengaruhi pengembangan karir jangka panjang.
Quiet covering mencerminkan dilema Gen Z antara otentisitas dan kebutuhan untuk diterima di tempat kerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa meski Gen Z cenderung terbuka dan kreatif, tekanan profesional, norma perusahaan, dan kekhawatiran diskriminasi membuat mereka menahan sebagian identitas.
Organisasi yang sadar akan fenomena ini dapat menciptakan budaya inklusif yang mendukung ekspresi diri, sekaligus menjaga produktivitas dan kesejahteraan karyawan.
Dengan memahami quiet covering, perusahaan dapat membuka jalan bagi lingkungan kerja yang lebih sehat, sementara Gen Z dapat merasa lebih bebas untuk menampilkan sisi autentik mereka tanpa takut dinilai negatif.