Silent Living Digandrungi Anak Muda: Benarkah Gaya Hidup Anti-Flexing Bikin Cepat Kaya?

Ilustrasi tenang dan bahagia
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle – Di era media sosial yang penuh sorotan, banyak orang berlomba-lomba memamerkan gaya hidup mewah, liburan mahal, hingga barang branded. Perlahan generasi muda mulai lelah dengan budaya flexing dan beralih ke konsep silent living.

Gaji Habis untuk Jajan Makanan Viral? Ini Cara Atur Keuangan Biar Kantong Aman

Silent Living bukan sekadar tren sesaat melainkan sebuah gaya hidup yang menekankan kesederhanaan, privasi, dan ketenangan finansial. Fenomena ini lahir dari rasa jenuh terhadap validasi sosial dan tekanan ekonomi yang semakin nyata. 

Hidup hemat, tidak mengumbar pencapaian, dan fokus pada kualitas hidup kini dianggap lebih bernilai dibanding sekadar tampilan glamor di media sosial. Bahkan, survei McKinsey pada 2024 menunjukkan sebanyak 60 persen generasi milenial dan Gen Z lebih memilih “pengalaman autentik” dibanding barang mewah yang menguras kantong.

5 Alasan Orang Beralih ke Silent Living

1. Tekanan Sosial yang Melelahkan

Panduan Lengkap Melunasi Utang Tanpa Harus Mengorbankan Gaya Hidup

Budaya flexing menciptakan lingkaran pembanding yang tidak sehat. Banyak orang merasa harus selalu tampil sempurna agar diterima.

Silent Living menjadi jawaban bahwa kebahagiaan tidak lagi diukur dari likes atau followers. Kebahagiaan sejati hadir dari rasa tenang dan kebebasan finansial.

2. Kondisi Ekonomi dan Kesadaran Finansial

6 Strategi Sukses Bisnis Bazaar yang Gabungkan Nostalgia dan Misi Sosial

Tingginya inflasi, kenaikan harga kebutuhan, dan ancaman resesi membuat orang lebih bijak mengelola uang. Silent Living mendorong pola konsumsi sadar.

Gaya hidup 'diam' ini mengajak agar setiap orang paham untuk membeli yang dibutuhkan, bukan sekadar pamer. Fenomena ini bahkan berdampak pada industri fashion dan luxury goods, yang melaporkan perlambatan penjualan di 2024 menurut data Bain & Company.

3. Kepedulian Kesehatan Mental

Mengurangi tekanan sosial berarti mengurangi stres. Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan, membatasi konsumsi konten sosial yang bersifat kompetitif dapat meningkatkan kesejahteraan mental. Silent Living mendukung hal ini, karena fokusnya adalah hidup sesuai kemampuan tanpa mencari pengakuan.

4. Tren Global Anti-Flexing

Fenomena serupa terjadi di berbagai negara. Di Jepang, konsep Danshari (decluttering) dan di Eropa tren Quiet Luxury semakin populer. Indonesia pun mengikuti arah ini, terutama di kalangan profesional muda yang ingin hidup stabil tanpa beban cicilan hanya demi gengsi.

5. Pengaruh Konten Edukatif

Banyak influencer keuangan dan psikologi yang mengampanyekan hidup sederhana. Mereka mengajak audiens untuk lebih mindful terhadap pengeluaran. Alih-alih menghabiskan uang untuk barang branded, orang mulai mengalokasikan dana untuk tabungan, investasi, atau pengembangan diri.

Dampak Silent Living terhadap Keuangan Pribadi

Fenomena Silent Living membawa pergeseran besar pada cara masyarakat mengatur pengeluaran. Sebelumnya, tekanan sosial dan budaya pamer mendorong perilaku konsumtif yang berbasis FOMO (Fear of Missing Out) di mana orang ingin terlihat up-to-date dengan tren terbaru. 

Hal ini sering kali membuat orang mengalokasikan anggaran lebih untuk barang-barang bermerek, teknologi terbaru, atau gaya hidup yang terlihat glamor di media sosial. Tidak jarang mengandalkan cicilan atau paylater.

Silent living kemudian menghadirkan konsep JOMO (Joy of Missing Out) untuk mengajak masyarakat mulai menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Mereka tidak lagi merasa perlu membeli ponsel edisi terbaru setiap tahun atau menumpuk koleksi barang mewah demi status sosial. 

Fokus utama bergeser pada nilai guna dibandingkan nilai pamer. Barang fungsional dengan kualitas baik menjadi pilihan, sementara brand besar tidak lagi menjadi prioritas.

Secara finansial, pergeseran ini menciptakan dampak positif. Pengeluaran untuk kebutuhan sekunder dan tersier cenderung berkurang, sehingga porsi anggaran untuk tabungan, investasi, atau dana darurat meningkat. 

Gaya hidup yang tidak berorientasi pada validasi sosial juga menurunkan risiko utang konsumtif, termasuk cicilan kartu kredit atau layanan paylater. Dengan kata lain, Silent Living membantu menciptakan keseimbangan keuangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Di sisi industri, perubahan ini memaksa brand untuk menyesuaikan strategi. Produk yang menonjolkan kualitas, daya tahan, dan kepraktisan akan lebih diminati dibanding produk dengan gimmick branding berlebihan. Artinya, bisnis juga bergerak menuju arah yang lebih fungsional, bukan sekadar impresi visual.

Silent Living bukan sekadar gaya hidup anti-pamer; ia mencerminkan pergeseran nilai sosial dan kesadaran finansial. Dengan mengurangi konsumsi berlebihan, individu bukan hanya menjaga kesehatan mental, tetapi juga memperkuat fondasi keuangan. Pada akhirnya, kesederhanaan yang autentik justru menjadi simbol kemapanan baru—bukan dari apa yang ditunjukkan, melainkan dari ketenangan yang dirasakan.