Pura-Pura Kerja hingga Sewa Kantor Jadi Tren Nyeleneh di China, Kok Bisa?
- Freepik
Lifestyle – Di tengah ketatnya persaingan kerja dan tekanan sosial yang menyertai status pengangguran, generasi muda di China mulai melirik cara yang tak biasa untuk tetap terlihat “sibuk.” Mereka menyewa fake workspace, kantor palsu lengkap dengan meja, Wi-Fi, kopi, dan bahkan layanan makan siang, agar terlihat seperti masih bekerja di hadapan keluarga dan lingkungan sekitar.
Layanan seperti ini menawarkan paket harian dengan biaya sekitar 30–50 yuan (sekitar Rp60.000–Rp120.000), termasuk fasilitas seperti ruang rapat, dekorasi kantor, bahkan kursi kulit untuk difoto seolah sedang jadi “bos.”
Tren pretend-to-work ini sebenarnya bukan sekadar gimmick, tetapi sebuah upaya menjaga harga diri dan rutinitas di era ketidakpastian pekerjaan.
Mengapa Fenomena Ini Semakin Populer?
Mengutip dari Business Standard, tingkat pengangguran pemuda di China, khususnya usia 16–24 tahun, semakin naik dan sempat mencapai puncaknya di angka 21,3% pada pertengahan 2023.
Kondisi ini menyebabkan banyak kaum muda merasa kehilangan, tidak hanya secara finansial tetapi juga psikologis. Mereka memilih menyewa fake workspaces sebagai cara menjaga penampilan tetap produktif di mata orang lain.
Seperti yang dituturkan Jiawei, mantan karyawan e-commerce. “Saya tidak ingin membebani keluarga dengan kecemasan saya.” Menjaga rutinitas “pergi ke kantor” membuatnya tetap terlihat berdaya.
Salah satu penyedia layanan ini, yang dikenal sebagai Pretend to Work Company, menjelaskan bahwa yang dijual bukan hanya ruang fisik, tetapi juga “martabat untuk merasa tidak ‘nganggur.’”
Bagi sebagian besar pengguna—termasuk para freelance dan lulusan baru—ini adalah alat untuk menunda “pengumuman” status pengangguran dan mencari momen tenang sebelum menghadapi dunia kerja kembali.
Manfaat Psikologis dan Sosial
Menariknya, tren pura-pura kerja ini memberi lebih dari sekadar citra visual. Banyak pengguna melaporkan bahwa mereka merasa punya struktur harian dan bahkan komunitas.
Satu pengguna di Dongguan mengungkap, bahwa ia merasa sangat bahagia, seperti bekerja bersama teman-teman. Sementara yang lain menyebut suasana ini membantu menjaga ritme bangun pagi dan produktivitas meski dilakukan demi pura-pura.
Beberapa lokasi bahkan memperluas layanan, termasuk menyediakan co-working terapeutik: kantor di pedesaan, dengan udara segar dan suasana tenang, sehingga pengguna dapat bekerja ringan sambil merevitalisasi pikiran dan emosi.
Tanggapan Akademis dan Kritik Meluas
Prof. Zhang Yong dari Wuhan University menyatakan bahwa fenomena ini muncul karena tekanan budaya yang mengharuskan individu tampil sukses dan stabil secara ekonomi. Hilangnya pekerjaan bukan hanya kehilangan pendapatan, tetapi juga identitas.
Namun, tidak sedikit yang mengkritiknya sebagai bentuk pelarian mental. Meski memberi rasa nyaman jangka pendek, tren ini bisa menunda pencarian kerja yang sebenarnya atau menangkap peluang pengembangan diri.
Beberapa skeptis berpendapat bahwa anggaran dan energi yang seharusnya digunakan untuk pelatihan atau networking justru digunakan untuk pura-pura tetap bekerja.
Tren pura-pura kerja di China bukan sekadar kebiasaan aneh, tetapi cerminan nyata dari ketegangan sosial di tengah krisis ekonomi dan karier. Layanan fake workspace membantu menjaga citra produktif dan memberi stabilitas psikologis sesaat.
Namun, terlalu lama mengandalkan solusi ini bisa memperlambat tindakan nyata dalam menata masa depan profesional mereka. Frasa “menggunakan kebohongan untuk menemukan kebenaran” tampaknya cocok menggambarkan fenomena ini, sebuah cara sementara menjaga martabat di tengah ketidakpastian.