Dampak Buruk Kebiasaan Bandingkan Anak dengan Orang Lain

Ilustrasi anak bermain
Sumber :
  • Freepik

Sebaliknya, mereka mungkin hanya termotivasi oleh keinginan untuk menghindari kritik atau mendapatkan pujian, yang dikenal sebagai motivasi ekstrinsik. Motivasi jenis ini bersifat sementara dan tidak berkelanjutan, sehingga anak mungkin tidak konsisten dalam usaha mereka.

Dalam konteks akademik, anak yang sering dibandingkan dengan teman sekelas yang lebih berprestasi mungkin merasa putus asa atau tidak mampu bersaing. Hal ini dapat menyebabkan penurunan performa akademik, karena anak merasa bahwa usaha mereka tidak akan pernah cukup baik. Sebaliknya, anak yang didukung dengan pujian atas usaha mereka, bukan hasil akhir, cenderung lebih termotivasi untuk terus belajar dan mengatasi tantangan.

Dampak Sosial dan Hubungan dengan Orang Lain

Kebiasaan membandingkan anak juga dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Anak yang sering dibandingkan dengan saudara atau teman mungkin mengembangkan rasa iri atau dendam terhadap individu tersebut. 

Misalnya, pernyataan seperti “Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu?” dapat memicu konflik antar saudara dan merusak hubungan keluarga. Dalam lingkungan sosial yang lebih luas, anak mungkin menjadi terlalu kompetitif atau menarik diri dari interaksi sosial karena merasa tidak cukup baik dibandingkan teman-temannya.

Selain itu, anak yang sering dibandingkan cenderung mengembangkan pola pikir tetap (fixed mindset), di mana mereka percaya bahwa kemampuan mereka bersifat statis dan tidak dapat ditingkatkan. 

Hal ini berbeda dengan pola pikir berkembang (growth mindset), yang mendorong anak untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar. Pola pikir tetap dapat membuat anak menghindari aktivitas baru atau menyerah dengan mudah ketika menghadapi kesulitan, karena mereka takut gagal atau dibandingkan lagi.