Kenapa Sate Kere Solo Disebut Makanan Rakyat Jelata? Ini Ceritanya!
- Indonesia Kaya
Tempe gembus, dengan tekstur kenyal dan cita rasa gurih, menjadi alternatif daging yang terjangkau. Proses pengolahan sate kere melibatkan bumbu sederhana seperti ketumbar, bawang putih, bawang merah, dan gula merah, yang kemudian disajikan dengan bumbu kacang kental atau sambal kecap, menciptakan perpaduan rasa manis, pedas, dan gurih.
Simbol Perlawanan Budaya
Sate kere bukan hanya soal makanan, tetapi juga simbol perlawanan budaya masyarakat pribumi terhadap dominasi kolonial. Menurut Heri Priyatmoko, dosen sejarah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sate kere mencerminkan budaya tanding (counter-culture), yaitu gaya hidup masyarakat kelas bawah yang menentang norma sosial yang ditetapkan oleh kalangan atas.
Dengan menciptakan sate kere, masyarakat pribumi menunjukkan bahwa mereka mampu menikmati hidangan serupa sate daging tanpa harus bergantung pada bahan mahal. Ini adalah bentuk kreativitas sekaligus perlawanan moral terhadap kesenjangan sosial yang ada pada masa itu.
Pada era kolonial, abattoir atau rumah pemotongan hewan dibangun oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan daging kaum Eropa. Jeroan dan lemak sapi, yang dianggap tidak layak oleh pengelola abattoir, menjadi bahan yang dimanfaatkan oleh rakyat jelata.
Dengan bumbu yang sederhana namun kaya rasa, mereka mengubah “limbah” ini menjadi kuliner yang kini dikenal luas. Sate kere tidak hanya menjadi solusi atas keterbatasan ekonomi, tetapi juga wujud ketangguhan masyarakat Solo dalam menghadapi tantangan zaman.