Bertahan atau Pergi? Ketika Stres Kerja Mengancam Jiwa, Ini Panduan Psikologisnya

Ilustrasi burnout di tempat kerja
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Ada masa-masa ketika kamu menahan lelah karena yakin kerja keras akan membuahkan hasil. Namun, bagaimana jika rasa lelah itu tak kunjung reda dan justru berganti menjadi rasa tak berguna, terasing, dan ingin menghilang? Di titik inilah, keputusan untuk bertahan di kantor tidak lagi sekadar soal profesionalisme—tapi soal menyelamatkan diri.

Bagi sebagian orang, kantor bukan hanya sumber penghasilan, tapi juga pemicu luka batin yang dalam. Stres berkepanjangan, lingkungan kerja yang tidak mendukung, atau budaya organisasi yang merendahkan martabat individu bisa menciptakan tekanan psikologis yang jauh dari kata wajar. Ketika berada di titik ini, pertanyaan selanjutnya pun muncul: jika bertahan sudah tak lagi bijak, maka langkah apa yang seharusnya kita ambil? Di sinilah pentingnya memahami tanda-tanda dan batas kemampuan diri.

Mengenali Risiko Psikologis: Lebih dari Sekadar Tidak Nyaman

Psychological safety atau keamanan psikologis di tempat kerja merupakan kebutuhan dasar yang sering diabaikan. Dr. Amy Edmondson dari Harvard Business School menyebutkan bahwa individu yang merasa aman secara psikologis lebih mampu tampil optimal dan mengambil risiko positif. Sebaliknya, lingkungan kerja yang mengancam secara emosional justru menciptakan individu yang tertutup, penuh kecemasan, dan kehilangan semangat. Ketika tempat kerja menjadi pemicu rasa tidak berdaya, kesepian, dan bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup, maka itu sudah jauh melewati ambang normal.

Menurut data dari American Psychological Association, stres kerja kronis dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan depresi, kecemasan, dan bunuh diri. Bahkan, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) mencatat bahwa pekerja dengan beban emosional tinggi memiliki potensi lebih besar mengalami ide bunuh diri dibandingkan mereka yang bekerja dalam lingkungan suportif.

Gunakan Skala Risiko Psikologis untuk Menilai Tempat Kerja

Cobalah refleksi sederhana: apakah pekerjaan ini membuatmu merasa berarti, atau justru merusak pandanganmu terhadap diri sendiri? Berikut beberapa indikator bahwa kantor sudah menjadi zona tidak sehat bagi mentalmu:

  • Kamu merasa cemas luar biasa setiap Minggu malam.
  • Kamu tidak bisa tidur dengan tenang karena memikirkan beban kerja.
  • Kamu merasa tidak ada yang peduli dengan keberadaanmu.
  • Setiap hari di kantor membuatmu merasa gagal.
  • Kamu mulai berpikir bahwa tidak ada yang berubah walau kamu pergi.

Jika sebagian besar dari jawabanmu adalah "ya", besar kemungkinan kamu berada dalam bahaya psikologis. Penting untuk segera mencari bantuan atau mempertimbangkan langkah strategis untuk keluar dari lingkungan tersebut.

Resiliensi vs Penghancuran Diri: Jangan Keliru Memaknai

Budaya hustle sering kali membuat kita merasa harus kuat menahan segalanya. Tapi psikolog asal AS yang juga penulis The Self-Love Workbook, Dr. Shainna Ali menekankan bahwa resiliensi bukan berarti membiarkan diri terus terluka.

"Menoleransi lingkungan kerja yang menyakitkan tidak akan membuktikan kekuatanmu. Itu hanya mengikis identitas dan harga dirimu sedikit demi sedikit," jelasnya.

Dalam kasus yang berat, bertahan bisa berarti menyiksa diri secara perlahan. Performa kerja turun, relasi sosial memburuk, dan yang lebih mengkhawatirkan—semangat hidup memudar.

Kantor Sebagai Pemicu Luka Batin: Studi dan Fakta

Psikolog dari Florida State University, Dr. Thomas Joiner yang banyak meneliti perilaku bunuh diri, menjelaskan dua faktor utama yang sering muncul pada mereka yang berada di ambang keputusasaan: perceived burdensomeness (merasa menjadi beban) dan thwarted belongingness (merasa terasing).

Lingkungan kerja yang toksik sangat mungkin menciptakan kedua kondisi ini. Ketika kontribusimu tidak diakui, kamu disudutkan tanpa alasan, atau dijadikan kambing hitam terus-menerus—maka rasa tak berharga dan keterasingan bisa menjadi kenyataan harian yang berat.

Studi dari Mental Health America juga menunjukkan bahwa 75 persen pekerja di lingkungan toksik mengalami kelelahan mental, dan 44 persen mengaku memiliki gejala depresi serius. Yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka tidak tahu harus mencari pertolongan ke mana.

Strategi Aman Jika Harus Pergi

Keputusan untuk resign bukan sesuatu yang harus dilakukan dalam kondisi emosional tinggi. Perlu strategi, terutama jika kondisi finansial masih belum aman. Berikut beberapa langkah yang bisa kamu pertimbangkan:

  1. Buat Jurnal Harian Emosi: Catat perasaanmu setiap hari setelah bekerja. Ini akan membantumu melihat pola dan tingkat stres.
  2. Cari Konseling Psikolog: Profesional bisa membantumu mengukur risiko dan memberi panduan objektif.
  3. Susun Rencana Finansial Sementara: Buat tabungan darurat minimal untuk 3 bulan ke depan.
  4. Perkuat Jaringan Sosial: Temukan komunitas yang suportif di luar pekerjaanmu.
  5. Rancang Rencana Transisi Karier: Jangan tunggu sampai putus asa. Mulailah mencari opsi baru sejak awal kamu merasa tidak sehat secara mental.

Hidup Lebih Penting dari Pekerjaan

Tidak ada pekerjaan yang pantas dibayar dengan nyawa atau kesehatan mental. Jika kamu sudah mencoba semua cara untuk bertahan dan tetap tidak menemukan ruang aman, maka meninggalkan tempat itu bukan kegagalan. Itu adalah bentuk penyelamatan diri.

Seperti kata psikiater asal AS sekaligus penulis Just Listen, Dr. Mark Goulston, "Seseorang yang memutuskan untuk hidup dan tidak lagi mengorbankan jiwanya demi jabatan adalah orang yang sudah memilih kemenangan sejatinya."

Pilihanmu Adalah Hakmu

Jika kamu sedang berada di titik antara bertahan atau menyerah, tanyakan ini pada dirimu: apakah tempat ini membuatku merasa layak untuk hidup? Jika jawabannya tidak, maka mungkin sudah waktunya kamu memeluk keberanian dan mencari tempat yang bisa menjagamu, bukan menghancurkanmu.

Ingat, kamu berharga. Hidupmu penting dan kamu layak mendapatkan tempat yang bisa menghargai itu. Jika Anda merasakan gejala depresi, permasalahan psikologi yang berujung untuk melakukan bunuh diri, segera konsultasikan ke pihak-pihak yang dapat membantu Anda seperti psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental atau hubungi 119.