Mau Resign Tapi Gagal Terus? Mungkin Ini 5 Alasan Kamu Belum Benar-Benar Siap

Ilustrasi Resign
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Baru awal bulan, tapi isi rekening tinggal seratus ribu. Mau beli makan harus mikir, mau isi bensin harus putar otak. Namun yang lebih melelahkan dari dompet tipis adalah suasana kantor yang bikin mental tergerus. Bukan gaji yang jadi masalah utama, tapi ucapan atasan yang meremehkan, kolega yang pasif-agresif, dan beban kerja yang tak kunjung manusiawi.

 

Di sela jam makan siang, kamu sering berkata, “Udah deh, gue mau resign bulan depan.” Tapi bulan depan berlalu, dan kamu masih duduk di meja yang sama, menyapa layar yang sama, dengan rasa jenuh yang makin dalam. Lantas, kenapa keinginan resign itu tak kunjung menjadi kenyataan?

 

Berikut ini lima alasan psikologis yang mungkin selama ini jadi penghalangmu untuk benar-benar mengambil langkah besar itu.

 

1. Kamu Belum Merasa “Cukup Sakit” untuk Bergerak

Dalam psikologi perilaku, manusia lebih mudah berubah saat rasa sakit melebihi rasa nyaman. Menurut motivator dan pakar perilaku dari AS, Tony Robbins orang berubah bukan karena mereka mau, tapi karena mereka harus. Jika rasa sakitnya belum dianggap cukup besar oleh otak, maka otak akan terus mencari alasan untuk bertahan. Artinya, meski kamu merasa tidak bahagia di pekerjaanmu sekarang, rasa takutmu terhadap ketidakpastian di luar sana lebih besar daripada rasa sakit yang kamu alami. Jadi kamu terus menunda. Refleksinya: Apakah kamu benar-benar tidak tahan, atau kamu masih diam-diam berharap situasi membaik dengan sendirinya?

 

 

2. Kamu Terjebak dalam “False Hope Syndrome

False Hope Syndrome adalah istilah dalam psikologi yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk menetapkan target yang tidak realistis, lalu kecewa, namun tetap mengulang pola yang sama. Setiap awal bulan kamu berjanji akan mulai cari kerja, perbaiki CV, atau bangun jaringan. Tapi akhirnya kamu kembali tenggelam dalam siklus pekerjaan yang menyita tenaga dan waktu.

 

Psikolog klinis dari University of Toronto, Dr. Janet Polivy menjelaskan bahwa ketika harapan tidak realistis, kita justru menciptakan lingkaran kegagalan yang memperkuat rasa tidak mampu. Jadi bukan hanya soal malas, tapi karena targetmu sendiri terlalu berat tanpa rencana yang konkret. Solusinya? Mulai dari langkah kecil yang konsisten.

 

3. Kamu Takut Identitas Diri Terguncang

Bekerja di satu tempat selama bertahun-tahun menciptakan keterikatan, bahkan dengan rasa sakitnya. Pekerjaanmu sekarang mungkin menyiksa, tapi juga jadi bagian dari siapa dirimu. “Kalau gue bukan bagian dari kantor ini, gue siapa?”

 

Profesor perilaku organisasi dari London Business School, Dr. Herminia Ibarra menyebut fenomena ini sebagai identity paralysis. Dalam artikelnya di Harvard Business Review, ia mengatakan bahwa banyak profesional menunda perubahan karier bukan karena takut pada pekerjaan baru, tapi karena takut kehilangan jati diri lama yang sudah mereka kenal. Refleksinya: Apakah kamu bertahan karena memang belum siap melepaskan versi dirimu yang lama?

 

4. Kamu Belum Mempersiapkan “Jalan Mundur” yang Aman

Keinginan resign bisa terasa seperti melompat tanpa parasut jika kamu belum memiliki dana darurat, belum ada tawaran pekerjaan lain, atau belum punya rencana cadangan. Otak manusia secara alamiah menolak ketidakpastian karena dianggap ancaman terhadap kelangsungan hidup. Menurut pakar neuroleadership David Rock, otak kita bereaksi terhadap ketidakpastian dengan cara yang sama seperti terhadap rasa sakit fisik. Itu sebabnya resign tanpa rencana bisa membuat kamu merasa lebih stres daripada bertahan di tempat yang tidak sehat. Solusinya? Mulai dari menata keuangan, menyiapkan skill baru, dan menjalin koneksi. Karena keberanian bukan soal nekat, tapi tentang kesiapan.

 

5. Kamu Belum Jujur pada Diri Sendiri

Ini adalah alasan paling dalam sekaligus paling menyakitkan. Terkadang kita menolak resign karena takut melihat ke dalam diri sendiri dan menyadari bahwa kita tidak tahu apa yang benar-benar kita inginkan. Kita mengira ingin resign, padahal yang kita butuhkan adalah pengakuan, ruang tumbuh, atau rasa dihargai.

 

Psikolog Brené Brown dalam bukunya Daring Greatly menulis, “Kerentanan adalah awal dari keberanian. Ketika kita jujur pada perasaan sendiri, baru kita bisa bertindak dengan utuh.” Jadi, sebelum memutuskan langkah besar, tanyakan: Apa sebenarnya yang kamu cari dari pekerjaan? Apakah kamu benar-benar ingin pergi, atau kamu ingin ada yang berubah?

 

Kamu Tidak Sendirian, Tapi Kamu Punya Pilihan

Tidak semua orang bisa langsung resign saat merasa tidak bahagia. Tapi bertahan tanpa arah juga bukan solusi jangka panjang. Yang kamu butuhkan adalah keberanian untuk jujur pada diri sendiri, lalu menyusun langkah konkret satu demi satu.

 

Kamu tidak sendiri dalam rasa bingung ini. Tapi kamu juga tidak harus selamanya diam. Kamu berhak punya pekerjaan yang tidak hanya memberi gaji, tapi juga memberi makna. Jika hari ini belum siap, tidak apa-apa. Tapi jangan berhenti menyiapkan dirimu.

 

Karena perubahan besar, selalu dimulai dari satu keputusan kecil: memilih untuk mulai bergerak.