Suka Ngomong Mau Resign Tapi Paling Lama Bertahan di Kantor, Kenapa Banyak Orang Seperti Ini?

Ilustrasi Mau Resign Tapi Tak Jadi
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Gaji masih cukup. Di rekening memang tinggal seratus ribu, tapi bukan itu yang membuatmu ingin resign. Bukan karena uang—melainkan karena rasanya seperti jalan di atas bara setiap hari. Atasan yang tak pernah puas, kolega yang lebih suka menyalahkan daripada mendukung, suasana kerja yang dingin dan penuh tekanan. Rasanya, bahkan sebelum masuk kantor pun sudah lelah duluan hanya karena membayangkan hari seperti apa yang akan dihadapi.

Kalimat “Aku pengin resign” kembali keluar dari mulutmu. Bukan sekali dua kali, tapi nyaris setiap harinya. Tapi seperti biasa, keesokan harinya kamu tetap bangun, tetap datang ke kantor, dan tetap menjalani hari dengan hati yang kosong. Kenapa begitu banyak orang yang bilang ingin resign, tapi justru mereka yang paling lama bertahan? Apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran dan hati mereka? Mari kita gali bersama—bukan hanya dari sisi logika, tapi juga dari luka yang tak terlihat oleh orang lain.

Keinginan resign sering kali muncul bukan karena seseorang malas atau tidak bersyukur, melainkan karena akumulasi kelelahan mental yang sulit dijelaskan. Setiap hari kamu masuk kerja dengan energi yang terus menipis. Bukan karena pekerjaan terlalu berat secara teknis, tetapi karena atmosfer kantor yang menyedot semangatmu sedikit demi sedikit.

Mungkin kamu harus menghadapi atasan yang tak pernah memberi apresiasi, hanya tahu menuntut tanpa pernah bertanya “Apa kamu baik-baik saja?” Mungkin kamu bekerja dalam tim yang kompetitif secara tidak sehat, di mana semua orang hanya fokus menyelamatkan diri sendiri.

Menurut ekonom tenaga kerja dari Barnard College dan IZA, Prof. Daniel Hamermesh dalam banyak kasus, keputusan untuk bertahan lebih lama bukan karena pekerjaan itu baik, tetapi karena risiko kehilangan penghasilan jangka pendek terasa lebih mengancam dibanding potensi perbaikan jangka panjang.

Fenomena “Silent Resignation”: Tubuh Datang, Jiwa Menghilang

Silent resignation adalah fase ketika seseorang masih berada secara fisik di tempat kerja, tapi secara emosional sudah menyerah. Kamu datang, menyelesaikan pekerjaan karena kewajiban, bukan lagi karena rasa bangga atau kepuasan. Pekerjaan jadi rutinitas mekanis tanpa makna. Rapat hanya jadi formalitas, kontribusi terasa dipaksakan, dan jam istirahat menjadi satu-satunya waktu yang kamu nantikan.

Menurut riset Gallup, salah satu tanda employee disengagement adalah saat seseorang berhenti memberi ide baru, mulai absen secara emosional dalam diskusi, dan menghindari tanggung jawab tambahan. Ironisnya, banyak perusahaan tidak menyadari ini sampai seseorang benar-benar pergi.

Profesor psikologi organisasi dari Wharton School, Dr. Adam Grant menyebut ini sebagai bentuk emotional numbing. “Mereka tahu ini bukan tempat terbaik untuk tumbuh, tapi energi untuk pindah tidak cukup karena sudah habis dipakai untuk bertahan,” ungkapnya dalam podcast WorkLife.

Ketakutan Akan Penyesalan: “Bagaimana Kalau Tempat Baru Lebih Buruk?”

Salah satu alasan mengapa orang yang paling sering bilang mau resign justru bertahan paling lama adalah rasa takut pada ketidakpastian. Dunia kerja bukan tempat yang selalu adil, dan pengalaman pahit di tempat lama bisa menanam trauma yang membuat kita ragu melangkah ke tempat baru.

Bayangan buruk seperti “nanti bosnya lebih galak”, “lingkungan lebih toksik”, atau “pekerjaan lebih berat tapi gaji sama” kerap kali menahan langkah kita. Apalagi kalau sudah pernah berpindah kerja dan ternyata tempat baru tak seindah ekspektasi—trauma itu sulit hilang.

Psikolog Dr. Melanie Greenberg menyebut bahwa banyak pekerja yang terjebak dalam fawn response—mekanisme bertahan hidup dengan cara menyenangkan orang lain demi merasa aman.

“Mereka merasa bersalah jika mengecewakan atasan, atau takut dianggap tidak setia. Ini bukan soal gaji, tapi tentang rasa takut akan kehilangan kendali,” ujarnya dalam Psychology Today.

Rasa takut ini bisa sangat membatasi. Kita lebih takut kehilangan stabilitas yang menyakitkan daripada mengambil risiko menuju kondisi yang lebih baik.

Tapi, Kapan Waktunya Bertindak?

Waktu tidak pernah berhenti, tapi kamu mungkin sudah terlalu lama diam. Jika kamu mulai merasa:

  • Bangun tidur dengan perasaan berat setiap hari,
  • Pulang kerja tanpa energi bahkan untuk hal-hal kecil yang kamu sukai,
  • Menjadi mudah tersinggung, sensitif, atau kehilangan motivasi hidup,
  • Merasa diri tak berharga hanya karena pekerjaan tidak memuaskan, maka itu adalah sinyal bahwa sudah waktunya mempertimbangkan langkah serius.

Resign tidak harus berarti langsung mengundurkan diri. Bertindak bisa dimulai dari:

  • Menata ulang anggaran untuk mulai menabung dana darurat,
  • Membuat timeline realistis untuk transisi karier,
  • Konsultasi dengan mentor atau HR profesional,
  • Belajar skill tambahan yang membuka peluang baru.

Kata Dr. Grant, mereka yang bertahan paling lama sering kali adalah mereka yang paling kehilangan arah. Tapi keputusan untuk berubah dimulai dari satu hal sederhana: jujur pada diri sendiri.

Kamu Berhak Merasa Damai

Kita bisa terus bilang “nanti” atau “tunggu stabil dulu”, tapi kenyataannya, waktu terus berjalan dan luka yang kamu simpan makin dalam. Kamu mungkin belum siap hari ini. Tapi bukan berarti kamu harus tinggal selamanya.

Bertahan bukan berarti kamu lemah, tapi tahu kapan harus bertindak adalah bentuk kekuatan sejati. Maka tak perlu buru-buru, tapi jangan terlalu lama diam juga. Kamu berhak merasa damai—dan itu bukan sesuatu yang egois untuk diimpikan.