Uang Memang Tak Bisa Beli Kebahagiaan Tapi Bisa Bikin Hidup Lebih Tenang, Ini Buktinya

Ilustrasi Uang Memberi Kebahagiaan
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Kita sering mendengar ungkapan bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Ungkapan ini memang benar—hingga titik tertentu. Namun di balik kalimat bijak tersebut, ada sisi lain yang jarang disorot 'uang mungkin tak bisa membeli kebahagiaan, tapi ia bisa membeli ketenangan, keamanan, dan pilihan hidup yang membuat beban terasa lebih ringan'.

Saat tagihan datang bertubi-tubi, kebutuhan hidup terus meningkat, dan pemasukan belum sebanding dengan pengeluaran, bukan kebahagiaan yang menjadi fokus utama, melainkan rasa aman. Studi demi studi menunjukkan bahwa stres finansial berkorelasi erat dengan kesehatan mental yang terganggu. Artikel ini akan mengulas bagaimana uang berperan dalam menciptakan ketenangan batin menurut sudut pandang ilmiah dan psikologi positif.

Rasa Aman Dimulai dari Kestabilan Finansial

Menurut profesor psikologi dari University of British Columbia, Dr. Elizabeth Dunn kestabilan finansial adalah fondasi penting dari kesejahteraan psikologis. Dalam penelitiannya yang diterbitkan di Psychological Science, Dunn menyebut bahwa memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar secara signifikan mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepuasan hidup.

Uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga simbol rasa kontrol. Ketika seseorang memiliki simpanan yang cukup atau penghasilan yang stabil, otak tidak terus-menerus berada dalam mode siaga darurat. Sistem limbik—bagian otak yang mengatur respons emosional seperti ketakutan dan stres—menjadi lebih tenang karena tidak harus terus-menerus mencari solusi atas ancaman finansial.

Dalam kondisi keuangan yang menipis, tubuh memproduksi hormon kortisol dalam jumlah tinggi. Kortisol adalah hormon stres yang, dalam jangka panjang, bisa memengaruhi kualitas tidur, daya pikir, hingga suasana hati.

Menurut ekonom perilaku di Morningstar dan penulis buku Loaded: Money, Psychology, and How to Get Ahead without Leaving Your Values Behind, Dr. Sarah Newcomb tekanan ekonomi mengaktifkan respons bertahan hidup otak.

"Ketika seseorang terus-menerus khawatir tentang uang, mereka cenderung sulit mengambil keputusan rasional, mudah tersinggung, dan merasa terancam, bahkan oleh hal kecil," jelasnya.

Hal ini menjelaskan kenapa seseorang bisa menjadi lebih emosional, mudah marah, atau menarik diri saat berada dalam tekanan keuangan. Bukan karena mereka lemah, tetapi karena otaknya sedang kewalahan menghadapi situasi.

Uang Memberi Pilihan, dan Pilihan Memberi Kebebasan

Dalam wawancara dengan Harvard Business Review, psikolog dan penulis buku Happy Money, Dr. Michael Norton menyatakan bahwa kebahagiaan bukan hanya soal uang itu sendiri, tetapi bagaimana uang digunakan untuk menciptakan kebebasan dan kendali atas hidup.

Contoh nyatanya? Memiliki cukup uang untuk tidak harus mengambil pekerjaan yang membuat stres berat. Atau bisa mengambil cuti saat tubuh dan pikiran butuh istirahat. Bahkan pilihan kecil seperti membeli makanan sehat, terapi, atau sekadar liburan singkat bisa berdampak besar terhadap kesehatan mental.

Dengan kata lain, uang menciptakan ‘ruang napas’ dalam hidup. Ruang napas ini sering kali menjadi pembeda antara kehidupan yang terasa seperti perlombaan tanpa akhir, dengan hidup yang berjalan dalam kendali.

Psikologi Positif: Uang Bisa Menambah Kebahagiaan Jika Digunakan dengan Bijak

Psikologi positif tidak menolak peran uang. Justru dalam banyak risetnya, psikolog seperti Martin Seligman dan Sonja Lyubomirsky menekankan bahwa uang bisa menjadi alat untuk membangun kebahagiaan—selama digunakan dengan cara yang tepat.

Misalnya, pengalaman lebih berkesan daripada barang. Menggunakan uang untuk menciptakan kenangan bersama orang tercinta atau membantu sesama terbukti memberikan dampak emosi yang lebih tahan lama daripada membeli barang mewah untuk diri sendiri. Studi dari University of Zurich bahkan menemukan bahwa rasa puas atas kondisi finansial berkaitan dengan peningkatan empati dan hubungan interpersonal yang lebih sehat.

Realita Kehidupan: Ketika Uang Tidak Menjamin Bahagia, Tapi Bisa Mencegah Derita

Tak sedikit orang yang mengulang pepatah, ‘uang bukan segalanya’. Namun bagi banyak keluarga yang berjuang mencukupi kebutuhan harian, pernyataan itu bisa terasa jauh dari realita. Dalam dunia nyata, uang memang tak menjamin bahagia. Tapi cukupnya uang bisa menjadi benteng pertama yang mencegah datangnya derita.

Penelitian dari American Psychological Association (APA) mencatat bahwa masalah finansial masih menjadi penyebab stres nomor satu di Amerika Serikat, bahkan melampaui masalah hubungan dan kesehatan. Di Indonesia pun, survei oleh Lembaga Demografi FEB UI menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat merasa cemas akan kondisi keuangannya. Artinya, ketika dompet menipis, kestabilan emosi ikut terguncang.

Mengapa demikian? Karena di dunia nyata, kekurangan uang bisa berarti:

  • Tidak bisa membeli obat saat sakit.
  • Tidak mampu membayar uang sekolah anak.
  • Harus bekerja lembur atau ganda dan kehilangan waktu bersama keluarga.
  • Tak punya pilihan untuk meninggalkan pekerjaan yang toksik karena butuh gaji.

Kondisi seperti ini menciptakan tekanan kronis. Dalam jangka panjang, stres finansial bisa memicu depresi, kecemasan, hingga konflik rumah tangga. Bukan karena orang tersebut ‘lemah’, tetapi karena hidup dalam kekurangan membuat sistem saraf kita terus berada dalam mode bertahan hidup (survival mode).

Psikolog klinis Dr. Amanda Clayman menyatakan bahwa kekurangan uang membuat seseorang merasa tidak memiliki kendali atas hidupnya, dan perasaan tidak berdaya inilah yang bisa menjadi pintu masuk gangguan mental. Hidup terasa seperti memadamkan api tanpa sempat bernapas.

Lebih jauh lagi, kurangnya uang membuat kita tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar dalam piramida Maslow, seperti rasa aman dan kestabilan. Tanpa dasar yang kokoh ini, seseorang sulit mengejar level lebih tinggi termasuk kebahagiaan atau aktualisasi diri.

Namun ini bukan tentang mengkultuskan uang. Ini tentang memahami bahwa uang adalah alat bantu untuk menciptakan ruang emosional yang sehat dan layak. Seperti rumah, bukan rumah megah yang dibutuhkan, tapi atap yang tak bocor dan ruang yang bisa membuat kita tidur nyenyak tanpa dihantui utang.

Seorang ibu yang mampu membelikan susu untuk anaknya, atau seorang pekerja yang bisa mengambil cuti untuk istirahat tanpa cemas kehilangan penghasilan—mereka belum tentu bahagia dalam arti luas, tapi mereka lebih dekat pada ketenangan. Sering kali, ketenangan adalah bentuk kebahagiaan yang paling realistis di dunia yang keras ini.

Menerima Realita, Mengatur Prioritas

Jadi, apakah uang bisa membeli kebahagiaan? Jawabannya tetap “tidak sepenuhnya.” Tapi dalam banyak aspek kehidupan, uang bisa memberi rasa aman, pilihan, kendali, dan ruang untuk tumbuh—semua elemen penting yang membentuk kesejahteraan mental dan emosional.

Menjadi realistis tentang pentingnya finansial bukan berarti materialistis. Itu adalah bentuk kesadaran dan self-care, bahwa hidup lebih damai ketika kebutuhan dasar terpenuhi, dan pilihan hidup tidak dibatasi oleh kekhawatiran finansial.

Karena pada akhirnya, hidup yang tenang sering kali bukan tentang kemewahan. Tapi tentang tidak terus-menerus merasa takut akan hari esok.