Luka Batin Tersembunyi, Kenapa Orang Dewasa Sering Tampak Baik-Baik Saja Padahal Tidak
- Freepik
Lifestyle –Pernahkah kamu bertemu seseorang yang selalu terlihat ceria, ramah, dan seolah tidak punya masalah, tapi diam-diam mereka merasa hampa? Fenomena ini ternyata sangat umum, terutama pada orang dewasa yang punya luka batin mendalam.
Di balik senyum dan obrolan santai, mereka menyembunyikan rasa sakit, kekecewaan, atau trauma masa lalu. Inilah yang disebut dengan masking sebuah strategi bertahan hidup dengan menutupi emosi atau identitas asli demi terlihat baik-baik saja di mata orang lain.
Masking adalah perilaku menyamarkan emosi, pikiran, atau perilaku asli demi menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melansir artikel dari Verywell Mind, masking sering dilakukan untuk menghindari penolakan, menjaga hubungan, atau terlihat normal di mata orang lain. Bentuknya bisa beragam:
- Masking emosi: pura-pura bahagia meski sebenarnya sedih.
- Masking perilaku: meniru cara bicara atau gaya orang lain agar diterima.
- Masking kepribadian: menekan sifat alami demi menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial.
Fenomena ini tidak hanya dialami orang dengan kondisi neurodivergent seperti autisme atau ADHD, tapi juga orang dewasa biasa yang tumbuh di lingkungan penuh tekanan. Kadang, masking sudah menjadi kebiasaan sejak kecil, terutama jika dulu mereka sering diminta jangan nangis atau jangan tunjukkan kelemahan.
Dampak Psikologis Masking dalam Jangka Panjang
Meski di permukaan terlihat membantu, masking punya harga yang mahal secara emosional. Studi dan pengalaman klinis menunjukkan beberapa dampak seperti:
- Kelelahan Emosi
Menyembunyikan perasaan membutuhkan energi besar. Akhirnya, pelaku masking sering merasa lelah bahkan setelah interaksi singkat. - Burnout dan Stres Kronis
Terlalu sering “berperan” membuat tubuh dan pikiran kewalahan. Ini bisa berujung pada burnout. - Kehilangan Diri Sendiri
Karena terlalu sering menjadi versi “yang diinginkan orang lain”, pelaku masking bisa lupa siapa dirinya sebenarnya. - Gangguan Kesehatan Mental
Masking berkepanjangan dikaitkan dengan meningkatnya risiko kecemasan, depresi, dan kesulitan membangun hubungan yang autentik.
Menurut psikolog dari Clarity Therapy, New York, dr. Mikki Lee Elembaby masking adalah strategi bertahan hidup.
“Banyak klien saya mengaku merasa sangat lelah karena terus-menerus memantau perilaku mereka sendiri. Mereka merasa seperti terbakar habis dan terputus dari diri mereka yang sebenarnya,” kata dia.
Penjelasan ini menegaskan bahwa masking sering lahir dari kebutuhan untuk bertahan di lingkungan yang tidak selalu aman secara emosional. Namun, efek sampingnya besar mulai dari berkurangnya rasa percaya diri, kesepian emosional, hingga sulit membentuk hubungan yang tulus.
Dr. Mikki juga menyebut, tanda umum masking adalah kelelahan setelah interaksi sosial.
“Saat topeng itu dilepas di rumah, banyak orang merasa benar-benar kehabisan tenaga, bahkan kadang mati rasa secara emosional,” ujarnya.
Artinya, masking bukan hanya soal berpura-pura dan ini adalah mekanisme yang menuntut pengorbanan energi mental sangat besar.
Tanda-Tanda Masking yang Sering Terlihat
Mungkin kamu atau orang di sekitarmu melakukan masking tanpa sadar. Beberapa tanda yang sering muncul:
- Merasa lelah setelah bertemu orang, walau pembicaraan berlangsung baik.
- Berbicara atau berekspresi dengan cara yang sangat dikontrol, agar tidak terlihat salah.
- Menekan kebiasaan atau ekspresi alami demi menyesuaikan diri (misalnya, menahan gerakan spontan, mengubah gaya bicara).
- Jarang menunjukkan emosi asli, bahkan pada orang terdekat.
Jika tanda-tanda ini sering muncul, ada kemungkinan masking menjadi kebiasaan otomatis.
Cara Mengurangi Masking dan Mendukung Pemulihan
Mengurangi masking bukan berarti menjadi “vulnerable” di setiap situasi, tapi menemukan keseimbangan antara melindungi diri dan menjadi autentik. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Ciptakan Lingkungan Aman
Cari atau bangun hubungan di mana kamu bisa tampil apa adanya tanpa takut dihakimi. - Terapi dan Self-Healing
Terapi seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy) atau ACT (Acceptance and Commitment Therapy) dapat membantu mengenali pola masking dan membangun penerimaan diri. - Latihan Unmasking Bertahap
Catat momen saat kamu merasa paling autentik, dan coba perbanyak situasi seperti itu. - Self-Acceptance Practices
Gunakan afirmasi positif dan journaling untuk menguatkan rasa nyaman dengan diri sendiri.
Dr. Mikki menegaskan, bahwa proses unmasking sering kali bertahap. Tidak ada yang salah jika butuh waktu lama.
“Yang penting ada kemauan untuk lebih jujur pada diri sendiri,” kata dia.