Bekerja Biar Bisa Hidup, Tapi Kerja Terus Malah Nggak Sempat Hidup?

Ilustrasi stres pada pekerja
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Bangun pagi-pagi, buru-buru mandi, berangkat kerja menembus kemacetan. Sepulang kerja, masih lanjut balas email atau revisi dokumen. Weekend? Dipakai buat 'recovery' tidur seharian, atau malah ikut rapat online karena urgent.

Kita kerja keras siang malam, katanya supaya bisa hidup enak. Tapi pertanyaannya sekarang apakah kita benar-benar hidup? Kalimat 'bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja; mungkin sudah sering kita dengar.

Tapi makin ke sini justru terasa seperti ironi. Kita bekerja supaya punya uang, tapi uang itu habis untuk bertahan hidup dalam sistem yang menuntut kita terus bekerja. Lalu kapan hidupnya?

Budaya hustle (kerja keras tanpa henti) sudah menjadi standar kesuksesan zaman ini. Siapa yang paling sibuk, paling capek, paling banyak project, dia dianggap paling hebat. Bahkan kalau bisa, kita kerja sambil sakit pun tetap dianggap loyal dan profesional.

Kita hidup dalam dunia yang mengagungkan produktivitas. Seolah waktu kosong adalah kesalahan. Padahal tubuh dan pikiran manusia punya batas.

Menurut profesor psikologi dari Yale University sekaligus pengajar, Dr. Laurie Santos gaya hidup seperti ini sangat membahayakan.

"Kita dibentuk untuk percaya bahwa sukses berarti lebih banyak uang dan status. Tapi pola pikir itu sering membuat kita menukar kebahagiaan dengan produktivitas  dan akhirnya tetap tidak bahagia," ujarnya dalam wawancara dengan The Atlantic.

Bekerja Demi Hidup: Tujuan yang Mulia

Tidak ada yang salah dengan bekerja keras. Kita semua butuh penghasilan untuk bertahan. Makan, tempat tinggal, pendidikan, dan keamanan hidup memang perlu uang. Dalam teori ekonomi pun, pekerjaan adalah sarana menuju kesejahteraan.

Masalahnya bukan pada bekerja. Masalahnya muncul saat kita begitu tenggelam dalam kerja, sampai lupa untuk benar-benar hidup.

Tapi nyatanya hidup kita jadi milik pekerjaan. Ya, banyak dari kita bangun tidur langsung buka email kantor, bahkan sebelum cuci muka. Lembur bukan lagi pilihan, tapi jadi rutinitas. Jam makan siang sering terlewat karena deadline. Cuti kerja pun tetap standby karena takut disebut tidak profesional.

Weekend bukan lagi waktu refreshing, tapi cuma jadi jeda buat ngumpulin energi sebelum kerja lagi hari Senin. Bahkan ada yang tetap kerja saat sakit, bukan karena semangat tinggi, tapi karena takut kehilangan pekerjaan atau dianggap malas.

Santos menyebut fenomena ini sebagai success-driven dissatisfaction.

"Kita terus mengejar keberhasilan finansial dan profesional, tapi karena selalu ingin lebih, kita tidak pernah merasa cukup. Akhirnya, kebahagiaan tidak pernah datang," kata dia. 

Dampak Psikologis Hidup yang Hanya untuk Kerja

1. Stres dan Kecemasan Kronis

Pola kerja berlebihan menyebabkan stres kronis. Otak dan tubuh terus dalam mode “siaga” tanpa sempat rileks. Ini bisa memicu gangguan kecemasan, bahkan depresi.

2. Kesehatan Fisik Terabaikan

Karena terlalu sibuk, pola makan jadi sembarangan, olahraga jarang, dan waktu tidur terganggu. Imun tubuh melemah, pencernaan terganggu, dan kepala sering pusing. Ironis, kerja keras buat hidup sehat justru merusak kesehatan itu sendiri.

3. Hubungan Sosial Merenggang

Waktu untuk pasangan, anak, sahabat, atau keluarga jadi berkurang drastis. Kita jadi jarang hadir secara utuh dalam interaksi sosial, karena pikiran selalu terbagi dengan pekerjaan. Padahal, hubungan sosial yang sehat adalah salah satu fondasi kebahagiaan menurut psikologi modern.

"Kebahagiaan tidak datang dari memiliki lebih banyak, tapi dari menghargai apa yang sudah kita miliki," kata Laurie.

Kenapa Kita Terjebak Siklus Ini?

Takut Tertinggal

Media sosial penuh pencapaian orang lain seperti promosi, beli rumah, liburan ke luar negeri. Akhirnya kita ikut terburu-buru mengejar, meski belum tentu itu yang benar-benar kita butuhkan.

Identitas adalah Pekerjaan

Ketika ditanya, “kamu siapa?” kita langsung menyebut profesi. Seolah diri kita hanya berharga kalau produktif. Kalau sedang tidak kerja, merasa tak punya nilai.

Kita Tak Pernah Diajarkan Hidup Bahagia

Sejak kecil, kita diajari cara cari nilai bagus, masuk universitas top, dapat kerja bagus tapi tidak diajari bagaimana caranya menjaga kesehatan mental, menikmati waktu, dan membangun makna hidup.

Dr. Laurie Santos dalam kuliahnya di Yale menjelaskan bahwa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kenaikan pendapatan tidak terlalu meningkatkan kebahagiaan. Justru hal-hal sederhana seperti menghabiskan waktu dengan orang terdekat, berterima kasih (gratitude), melakukan aktivitas bermakna dan tidur cukup, adalah faktor yang sangat berkontribusi pada kesejahteraan psikologis. Dengan kata lain, kita bisa bahagia tanpa harus punya segalanya.

Bagaimana Cara Keluar dari Siklus Ini?

1. Tentukan Batasan Kerja dan Hidup

  • Belajar bilang “cukup”.

  • Matikan notifikasi kantor setelah jam kerja.

  • Jangan bawa laptop ke kamar tidur atau ruang makan.

2. Belajar Menikmati Waktu Luang

  • Baca buku, nonton film, berkebun, atau olahraga ringan tanpa rasa bersalah.

  • Lepaskan tekanan untuk selalu produktif.

3. Refleksi Tujuan Hidup

Tanyakan ulang pada diri sendiri:

  • Apakah hidupku hanya tentang target dan deadline?

  • Apakah aku sedang membangun hidup yang benar-benar aku inginkan?

4. Redefinisi Sukses

  • Sukses bukan cuma soal gaji tinggi atau jabatan keren.

  • Sukses juga berarti bisa tidur nyenyak tanpa cemas, punya waktu untuk anak-anak, bisa tertawa lepas bersama orang tersayang.

"Kita perlu mendefinisikan ulang sukses, bukan sekedar pencapaian tapi ketenangan batin dan hubungan yang bermakna,'" kata dia.

Kalau kamu sudah terlalu lama sibuk, mungkin ini waktunya untuk diam sejenak. Bukan menyerah, tapi kembali mengingat kenapa kamu bekerja sejak awal?