Kenapa Setelah Nonton Drakor, Tipe Ideal Jadi Oppa? Ini Jawaban Psikologinya
- Instagram agensi VAST Entertainment
Lifestyle –Bayangkan ini, kamu baru nonton drama Korea selama dua malam berturut-turut. Hanya 8 episode, tapi rasanya seperti sudah menjalin hubungan batin dengan pemeran utamanya. Entah itu Hyun Bin yang super protektif, Park Seo Joon yang lucu dan penuh perhatian, atau Song Kang yang kalem tapi selalu ada saat dibutuhkan, mereka semua terasa too good to be true.
Keesekannya, ketika temanmu bertanya, “Kamu suka cowok kayak gimana sih?” Tanpa sadar kamu jawab, “Yang kayak Ji Chang Wook di drama itu... tahu kan?” Kenapa banyak perempuan jadi merasa tipe idealnya berubah setelah nonton drama Korea? Apakah ini sekadar fase? Atau sebenarnya ada penjelasan psikologis dan sosiokultural yang lebih dalam?
Yuk, kita kupas satu per satu, pakai bahasa yang ringan tapi tetap ilmiah. Berikut ini penjelasannya!
Visual yang Menawan dan Karakter yang “Too Perfect to Be Real”
Drama Korea pintar banget membungkus karakter laki-laki sebagai sosok ideal, tampan, stylish, tajir, peka, punya trauma masa lalu yang bikin dia jadi deep dan yang paling penting, sangat menghargai perempuan.
Contohnya:
Lee Min Ho sebagai pengusaha cuek tapi secretly romantic.
Gong Yoo sebagai sosok hangat tapi misterius.
Cha Eun Woo sebagai walking green flag yang selalu minta consent dulu sebelum memegang tanganmu.
Karakter seperti ini menciptakan 'model ideal' yang jarang kita temui di kehidupan nyata. Bukan karena laki-laki nyata kurang baik, tapi karena di drama, segalanya sudah disusun untuk memicu emosi maksimal.
Menurut Direktur Media Psychology Research Center di Amerika Serikat, Dr. Pamela Rutledge, karakter fiksi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan emosional penonton, terutama ketika kehidupan nyata terasa tidak seindah narasi yang dibangun.
Fenomena Proyeksi Emosi: Kita Menaruh Harapan ke Karakter Fiksi
Saat menonton drama, otak kita tidak bisa membedakan sepenuhnya antara emosi nyata dan fiksi. Jadi kalau kamu merasa “baper” saat melihat adegan romantis, itu karena otakmu memang sedang memprosesnya sebagai sesuatu yang real.
Dr. Rutledge menyebut ini sebagai emotional projection, yakni dimana kita memproyeksikan harapan, kebutuhan, bahkan rasa ingin dicintai pada karakter yang kita lihat. Karakter ideal ini menjadi wadah aman untuk menaruh impian, tanpa risiko ditolak atau disakiti.
Ini juga sebabnya banyak perempuan menjadikan oppa favoritnya sebagai 'tipe ideal'. Sebab mereka bukan cuma menonton, tapi secara emosional ikut nyemplung dalam cerita.
Dopamin dan Exposure Bias: Makin Sering Lihat, Makin Nempel di Otak
Setiap kali kita menonton adegan yang manis atau menyentuh, otak kita mengeluarkan dopamin (hormon kebahagiaan). Maka dari itu, menonton drama yang 'ngena' bisa bikin kita ketagihan. Fenomena ini disebut mere-exposure effect atau exposure bias yang mana semakin sering kita terpapar sesuatu (dalam hal ini aktor atau karakter tertentu), semakin kita menyukainya. Maka tak heran jika setelah 16 episode bersama Nam Joo Hyuk, atau aktor lainnya kamu merasa nggak ada cowok lain yang bisa menyaingi dia.
Budaya Pop Korea: Meredefinisi Maskulinitas dan Relasi Romantis
Drama Korea juga menawarkan gambaran baru tentang maskulinitas yakni laki-laki yang sensitif, komunikatif, dan tidak gengsi menunjukkan emosi. Ini kontras dengan stereotip lama yang mengaitkan 'kejantanan' dengan ketegasan dan minimnya ekspresi emosional.
Dalam budaya barat atau bahkan Asia Tenggara, pria yang terlalu terbuka secara emosional kadang dianggap kurang maskulin. Tapi K-drama membalikkan itu. Karakter pria yang menangis, memasak untuk pasangan, atau sabar menunggu cinta berbalas justru dianggap sangat ideal.
Menurut Direktur Center for Healthy Children di Amerika Serikat, Dr. Jennie Noll, perempuan cenderung merespons secara positif pada model hubungan yang emosional dan suportif, dan drama Korea membingkai itu dengan sangat kuat.
Eskapisme: Melarikan Diri ke Dunia yang Lebih Indah
Menonton drama adalah bentuk escapism, yakni melarikan diri dari kenyataan yang melelahkan, walau hanya untuk sementara. Saat kenyataan terasa terlalu rumit—pekerjaan yang menumpuk, komunikasi yang berantakan dengan pasangan, atau hubungan yang tidak sehat—nonton drama bisa jadi pelarian yang nyaman. Dalam drama, semuanya punya alur, konklusi, dan happy ending. Dalam hidup nyata? Belum tentu. Namun ketika realitas terasa mengecewakan, tak heran jika kita mencari pelipur lara dalam bentuk sosok fiksi yang 'ideal'.
Apakah Ini Berbahaya? Tidak Selalu, Tapi Perlu Disadari
Menjadikan oppa sebagai tipe ideal itu wajar dan manusiawi. Asal kita sadar bahwa itu bentuk fantasi, bukan standar yang harus dituntut dari pasangan di dunia nyata. Ketika kita bisa menikmati drama tanpa membandingkan berlebihan dengan realita, justru itu sehat. Artinya kita tahu batas antara inspirasi dan ekspektasi tak realistis. Tapi kalau sampai jadi standar yang membuat kita tidak bisa menghargai pasangan sendiri, itu bisa jadi masalah.
Menonton drama Korea bisa jadi pengalaman menyenangkan, menyentuh, dan bahkan membuka wawasan tentang hubungan yang lebih sehat dan emosional. Nggak salah menjadikan karakter fiksi sebagai inspirasi, selama tidak mengabaikan keindahan dan kekacauan dunia nyata.
Toh, cinta bukan hanya tentang siapa yang paling romantis di layar, tapi siapa yang tetap bertahan di hari-hari biasa, saat rambutmu berantakan dan mood-mu campur aduk.
Jadi, boleh kok sesekali baper lihat oppa, asal kamu juga tahu, kadang cinta sejati datang dari yang tidak pakai filter dan efek sinematik—tapi hadir setiap hari, nyata, dan mau belajar bareng.