3 Masalah Ekonomi yang Membelit Kelompok Prasejahtera dari Keterbatasan Ambulans hingga Pendidikan

Ilustrasi Keluarga Miskin / Prasejahtera
Sumber :
  • Freepik

Sementara pendapatan harian buruh informal rata-rata hanya Rp50 ribu–Rp70 ribu. Tidak jarang menimbulkan pilihan dilematis antara membeli pangan bergizi atau membayar sewa rumah.

Ketidakmampuan kelompok prasejahtera dalam emmenuhi kebutuhan pokok berimplikasi terhadap pemenuhan gizi. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2023 mencatat 30 persen anak dari keluarga miskin mengalami gizi buruk.

3. Keterbatasan Akses Pendidikan

Dalam era ekonomi digital, keterampilan adalah aset tetapi jutaan anak prasejahtera masih tertinggal dalam pendidikan. Biaya seragam, buku, hingga transportasi menjadi penghalang. 

Data UNICEF 2024 mengungkapkan bahwa 1 dari 10 anak di Indonesia putus sekolah karena faktor ekonomi. Akibatnya, anak putus sekolah sulit bersaing di pasar kerja yang kini didominasi sektor teknologi.

Kemiskinan bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga akses pada layanan dasar seperti kesehatan, pangan, dan pendidikan. Jika masalah ini dibiarkan, efek domino terhadap perekonomian nasional akan semakin besar. 

Oleh karena itu, pentingnya sinergi antara pemerintah, sektor bisnis, dan komunitas  untuk mengatasi masalah mendasar ini. Sehingga kelompok masyarakat prasejahtera bisa bertahan bahkan naik kelas melalui akses layanan publik dan inovasi ekonomi inklusif.