Jakarta Tanpa Asap: Wisata Hiburan Jadi Makin Menarik Buat Turis Asing atau Sebaliknya?
- Freepik
Lifestyle –Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperluas cakupan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ke sektor tempat hiburan seperti bar, diskotek, karaoke, dan kelab malam, menuai reaksi beragam. Bukan hanya dari pelaku usaha dan masyarakat lokal, namun juga dari pengamat industri yang melihat potensi dampaknya terhadap daya tarik Jakarta sebagai destinasi wisata malam bagi turis asing.
Sejak beberapa tahun terakhir, Jakarta telah bertransformasi menjadi kota yang tak hanya padat oleh lalu lintas dan pusat bisnis, tetapi juga mulai dikenal sebagai kota hiburan malam yang berkembang pesat. Dari rooftop bar dengan pemandangan kota, kelab malam berkelas internasional, hingga tempat karaoke tematik—semuanya menjadi magnet bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Namun, dengan rencana penerapan KTR secara ketat di tempat-tempat tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah Jakarta masih akan semenarik sebelumnya bagi para pelancong yang terbiasa dengan kebebasan merokok di tempat hiburan?
Kekhawatiran Terhadap Sektor Pariwisata
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menyoroti bahwa perluasan KTR ini tidak hanya berdampak pada konsumsi tembakau, tetapi juga memiliki efek domino terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Pembatasan merokok di tempat hiburan tidak hanya akan memengaruhi konsumsi produk tembakau, tetapi juga dapat berdampak terhadap menurunnya jumlah pengunjung. Penurunan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap permintaan sektor makanan dan minuman, jasa akomodasi, serta industri kreatif,” ujar Heri, dalam keterangannya.
Dalam konteks wisata, sektor hiburan malam merupakan salah satu alasan mengapa turis asing memilih kota-kota besar di Asia Tenggara seperti Bangkok, Ho Chi Minh City, atau bahkan Phnom Penh—yang meskipun memiliki regulasi rokok, masih cukup permisif di area hiburan dewasa.
Dibandingkan dengan kota-kota tersebut, Jakarta berisiko menjadi kurang kompetitif jika tempat hiburannya dianggap terlalu ketat dan tidak ramah terhadap preferensi turis tertentu.
Segmentasi Pengunjung yang Tepat
Heri juga menekankan bahwa kebijakan KTR ini, jika tujuannya adalah untuk menekan angka perokok usia muda, bisa jadi salah sasaran. Karena tempat hiburan malam biasanya hanya diakses oleh mereka yang berusia 21 tahun ke atas.
“Pencegahan perilaku merokok pada usia muda sebaiknya difokuskan pada kawasan sekolah dan lingkungan sekitarnya, bukan pada sektor hiburan yang konsumennya merupakan kelompok usia dewasa,” jelasnya.
Artinya, pembatasan merokok di ruang hiburan tidak serta merta mengurangi kebiasaan merokok di kalangan remaja, yang justru sering terpapar di lingkungan sekolah, rumah, atau ruang publik terbuka.
Ancaman terhadap Daya Saing dan Hunian Hotel
Tidak berhenti di tempat hiburan saja, Heri juga menyoroti efek kebijakan ini terhadap industri perhotelan yang saling terkait dengan sektor hiburan dan pariwisata.
“Kami mencatat bahwa banyak hotel mengalami penurunan tingkat hunian bahkan penutupan operasional. Kondisi ini menyebabkan pengurangan jam kerja, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika dibiarkan, hal ini akan menambah beban pengangguran dan melemahkan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Wisatawan asing yang datang ke Jakarta biasanya tidak hanya mencari tempat menginap, tetapi juga pengalaman lengkap—mulai dari kuliner, hiburan malam, hingga spa dan lounge hotel. Ketika elemen-elemen ini dibatasi secara berlebihan, pengalaman wisata pun bisa jadi kurang maksimal.
Bukan berarti Jakarta tidak bisa menjadi kota ramah kesehatan. Banyak kota besar di dunia seperti Tokyo dan Berlin berhasil menerapkan kawasan bebas rokok tanpa mengorbankan daya tarik wisata malam.
Kuncinya terletak pada kompromi: menyediakan ruang merokok terpisah, menerapkan ventilasi yang baik, dan edukasi publik yang kuat, bukan larangan total di semua tempat hiburan.
Diperlukan dialog terbuka antara pemerintah daerah, pelaku industri hiburan dan pariwisata, serta komunitas masyarakat sipil, untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak hanya berbasis idealisme kesehatan, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan daya saing kota.