Berpakaian Merah Sebabkan Kesialan, Ketahui Pantangan Datang ke Baduy Dalam
- Wonderful Indonesia
Di antara berbagai aturan adat, larangan memakai pakaian merah adalah yang paling menarik perhatian dan kerap dikaitkan dengan cerita mistis. Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, warna merah dianggap terlalu mencolok, mengandung energi “panas” yang dapat mengganggu keseimbangan spiritual wilayah mereka.
Beberapa warga lokal menyebut warna ini diasosiasikan dengan kemarahan, godaan, atau energi negatif, yang bertentangan dengan nilai kesederhanaan dan ketenangan Baduy. Cerita turun-temurun mengisahkan bahwa pelanggaran aturan ini bisa memicu konsekuensi serius, seperti tersesat di hutan, gangguan dari makhluk gaib, atau peringatan dari leluhur dalam bentuk mimpi buruk.
Asal-usul larangan ini sulit dilacak secara pasti karena tradisi Baduy lebih banyak diturunkan secara lisan. Namun, beberapa tetua adat menjelaskan bahwa warna merah dianggap bertentangan dengan prinsip “pikukuh” (keteguhan adat) yang mengutamakan warna netral seperti putih, hitam, atau biru tua, yang melambangkan kesucian dan harmoni. Dalam konteks spiritual, warna merah juga dikaitkan dengan ritual tertentu di luar tradisi Baduy, seperti upacara yang melibatkan darah atau konflik, sehingga dihindari untuk menjaga kedamaian.
Cerita wisatawan menambah daya tarik mitos ini. Beberapa pengunjung mengaku merasakan ketidaknyamanan, seperti perasaan diawasi atau kesulitan menemukan jalan pulang, setelah mengenakan pakaian merah. Meski tidak ada bukti konkret tentang gangguan mistis, kisah-kisah ini memperkuat reputasi Baduy Dalam sebagai destinasi wisata horor yang penuh misteri. Media sosial, seperti postingan di X, juga sering membagikan pengalaman serupa, meskipun banyak yang menganggapnya sebagai efek sugesti atau bagian dari daya tarik budaya.
Fakta di Balik Larangan: Adat, Bukan Kutukan
Meski sarat dengan nuansa mistis, larangan memakai pakaian merah lebih berakar pada nilai budaya dan penghormatan terhadap adat. Menurut pemandu wisata lokal di Ciboleger, warna merah dihindari karena dianggap tidak selaras dengan estetika sederhana Baduy Dalam, yang mengutamakan pakaian tenun berwarna netral.
Pelanggaran aturan ini biasanya hanya berujung pada teguran sopan dari warga atau Pu’un, bukan malapetaka seperti yang dikhawatirkan. “Konsekuensi mengerikan” yang sering dibicarakan lebih merupakan peringatan simbolis untuk menghormati tradisi ketimbang ancaman nyata.