Larangan Tak Tertulis di Jalur Pendakian Merapi, Inilah Mitos yang Masih Dipatuhi

Ilustrasi jalur pendakian
Sumber :
  • Pixabay

LifestyleGunung Merapi, salah satu gunung api teraktif di Indonesia, bukan hanya menawarkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan kekayaan budaya dan mitos yang melekat erat di hati masyarakat sekitar. Terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, Merapi bukan sekadar destinasi pendakian, tetapi juga situs spiritual yang dianggap sakral. 

Lokasi Pemakaman Ribuan Korban Tsunami Aceh 2004, Kini Jadi Tempat Ziarah Terkenal

Larangan tak tertulis dan mitos yang berkembang di jalur pendakian, seperti di Pasar Bubrah atau kepercayaan tentang sosok Mbah Petruk, masih dihormati oleh pendaki hingga saat ini. Artikel ini mengupas larangan-larangan tersebut, asal-usul mitos, dan bagaimana tradisi ini memengaruhi pengalaman pendakian di Gunung Merapi, menjadikannya destinasi wisata yang kaya akan nilai budaya dan sejarah.

Sejarah dan Status Gunung Merapi: Gunung Api yang Sakral

Gunung Merapi, dengan ketinggian puncak 2.930 meter di atas permukaan laut (mdpl) per 2010, merupakan gunung berapi aktif yang telah meletus lebih dari 80 kali sejak 1548. Menurut Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Merapi memiliki siklus erupsi setiap 2 hingga 7 tahun, dengan letusan besar seperti pada 2010 yang menewaskan 386 jiwa, termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. 

Mall Klender dan Kisah Korban yang Masih 'Berteriak' Minta Tolong

Status Merapi saat ini berada pada level Siaga (Level III) sejak 5 November 2020, dengan larangan pendakian resmi diberlakukan sejak Mei 2018 untuk radius 3 kilometer dari puncak karena risiko awan panas (wedhus gembel) dan guguran lava. Meski demikian, jalur seperti Selo dan Babadan tetap menjadi rute populer sebelum penutupan, sementara jalur Kinahrejo tidak lagi direkomendasikan karena medan terjal dan risiko tinggi.

Masyarakat Jawa memandang Merapi sebagai gunung suci yang memiliki hubungan erat dengan Keraton Yogyakarta. Upacara Labuhan Merapi, yang dipimpin oleh juru kunci, merupakan ritual tahunan untuk menghormati roh-roh penunggu gunung dengan sesajen seperti kain dan makanan. Kepercayaan ini memperkuat pandangan bahwa pendaki harus menghormati aturan tak tertulis untuk menjaga keselamatan dan harmoni dengan alam serta entitas gaib yang dipercaya mendiami Merapi.

Larangan Tak Tertulis di Jalur Pendakian Merapi

Modal Rp 100 Ribu, Bisa Jelajahi 5 Tempat di Bogor Ini Sampai Puas!

Pendakian Gunung Merapi diatur oleh peraturan resmi dari Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), seperti larangan mendaki hingga puncak atau memasuki radius 3 kilometer dari kawah. Namun, selain aturan resmi, terdapat larangan tak tertulis yang berakar dari tradisi dan kepercayaan lokal. 

Pendaki dilarang berbicara sembarangan, terutama mengucapkan kata-kata kotor atau tidak sopan, karena dianggap dapat mengundang kemarahan roh penunggu gunung. Selain itu, tindakan asusila, seperti perilaku tidak senonoh, sangat dilarang karena Merapi dianggap sebagai tempat suci.

Pendaki juga dilarang mengambil apapun dari gunung, termasuk batu atau tanaman seperti bunga edelweis, kecuali foto, serta tidak boleh meninggalkan apapun kecuali jejak kaki. Membuang sampah sembarangan, melakukan vandalisme seperti mencoret batu, atau merusak tanaman dianggap melanggar etika pendakian dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem serta menyinggung entitas gaib. Larangan lain termasuk membuat jalur baru atau memotong jalur pendakian resmi, karena dapat menyebabkan pendaki tersesat atau menghadapi medan berbahaya.

Mitos Pasar Bubrah: Kerajaan Gaib di Puncak Merapi

Salah satu mitos paling terkenal di Merapi adalah keberadaan Pasar Bubrah, sebuah lapangan berpasir luas di jalur pendakian Selo yang dianggap sebagai pusat kerajaan gaib. Masyarakat lokal, terutama dari Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, mempercayai bahwa Pasar Bubrah adalah pasar tak kasat mata tempat makhluk gaib melakukan transaksi. Meski tidak terlihat seperti pasar pada umumnya, beberapa pendaki mengaku mendengar suara ramai atau melihat aktivitas gaib, terutama bagi mereka yang memiliki “kepekaan batin.” 

Setiap 1 Muharram, warga Desa Lencoh menggelar ritual di Pasar Bubrah, membawa sesajen seperti buah-buahan, lauk, dan kepala kerbau untuk memohon keselamatan dari bencana Merapi. Pendaki diimbau menjaga sopan santun di lokasi ini, seperti tidak mengeluh atau berbicara sembarangan, agar tidak mengganggu “penghuni” Pasar Bubrah.

Mitos Mbah Petruk dan Sosok Gaib Lainnya

Mitos lain yang masih dipercaya adalah keberadaan Mbah Petruk, sosok gaib yang dianggap muncul saat aktivitas Merapi meningkat. Masyarakat lokal mempercayai bahwa Mbah Petruk adalah salah satu penunggu kerajaan gaib Merapi, bersama sosok lain seperti Kyai Sapujagad dan Nyai Gadung Melati. 

Kepercayaan ini membuat pendaki dianjurkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau atau merah, yang konon disukai makhluk gaib, serta menghindari membawa jimat yang dapat menarik perhatian entitas tersebut. Beberapa pendaki melaporkan pengalaman mistis, seperti mendengar suara atau melihat bayangan di jalur pendakian, yang dikaitkan dengan sosok-sosok ini.

Pentingnya Mematuhi Larangan dan Mitos

Mematuhi larangan tak tertulis dan menghormati mitos bukan hanya soal menjaga tradisi, tetapi juga demi keselamatan. Pelanggaran seperti pendakian ilegal ke puncak Merapi, seperti yang terjadi pada April dan Juni 2025, dapat berakibat fatal. Balai TNGM telah menerapkan sanksi tegas, seperti blacklist selama tiga tahun dan kerja sosial, untuk mencegah pendakian ilegal. 

Selain itu, menghormati larangan tak tertulis mencerminkan sikap menghargai budaya lokal dan menjaga kelestarian alam Merapi, yang merupakan rumah bagi flora dan fauna langka seperti bunga edelweis dan burung elang Jawa.