Upacara Kematian di Tana Toraja Habiskan Miliaran Rupiah, Budaya atau Beban?
- Wonderful Indonesia
Elemen Ritual dan Biaya yang Mahal
Salah satu ciri khas Rambu Solo adalah penyembelihan hewan kurban, terutama kerbau belang (Tedong Bonga) dan babi. Kerbau dianggap sebagai hewan suci yang menjadi "kendaraan" arwah menuju Puya. Harga seekor Tedong Bonga bisa mencapai Rp50 juta hingga Rp600 juta, tergantung pada kualitas dan status sosial keluarga.
Untuk keluarga bangsawan (Tana’ Bulaan), jumlah kerbau yang dikurbankan bisa mencapai 24 hingga 100 ekor, disertai ratusan babi. Biaya ini, ditambah dengan kebutuhan logistik seperti makanan untuk tamu, pakaian adat, dan dekorasi, sering kali membuat total pengeluaran mencapai miliaran rupiah.
Persiapan Rambu Solo tidak dilakukan dalam waktu singkat. Keluarga sering menabung bertahun-tahun, bahkan menyimpan jenazah di Tongkonan hingga dana terkumpul. Ritual seperti Ma’Badong, tarian melingkar yang dilakukan sepanjang malam, serta Ma’Pasonglo, prosesi pengantaran jenazah ke pemakaman tebing (Lakkian), menambah kemegahan acara. Pemakaman di gua atau tebing batu, yang sering dihiasi patung Tau-Tau (representasi almarhum), juga menjadi bagian integral dari tradisi ini.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Rambu Solo tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga berdampak besar pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Toraja. Secara sosial, upacara ini memperkuat ikatan keluarga dan komunitas melalui gotong royong, seperti pemberian hewan kurban sebagai tanda solidaritas (pa’uaimata) atau pengembalian utang budi (tangkean suru’).
Namun, biaya yang besar sering kali membebani keluarga, terutama bagi mereka yang berada di strata sosial menengah ke bawah. Tekanan untuk menggelar upacara megah demi menjaga status sosial dapat mendorong keluarga berutang atau menjual aset berharga.