Cara Bagi Peran Ayah dan Ibu di Rumah Tangga Gen Z, Bikin Harmonis atau Sebabkan Masalah?

Ilustrasi keluarga
Sumber :
  • Pixabay

Lifestyle –Perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai sosial telah memengaruhi cara keluarga modern mengelola rumah tangga. Generasi Z yang kini mulai memasuki usia dewasa dan membangun keluarga, hadir dengan perspektif baru dalam membagi peran antara ayah dan ibu. Jika dahulu pengasuhan dan urusan domestik sepenuhnya diemban oleh ibu, maka saat ini banyak pasangan Gen Z yang mengupayakan pembagian peran secara adil dan setara.

Gen Z Wajib Tahu! Ini 5 Strategi Investasi Ala Stoik yang Bikin Cuan Konsisten

Fenomena ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan nilai kesetaraan gender dan pentingnya kolaborasi dalam rumah tangga. Namun di balik semangat positif tersebut, muncul pertanyaan: apakah cara bagi peran ala Gen Z ini menciptakan keharmonisan dalam keluarga, atau justru menimbulkan gesekan karena harapan yang tidak selaras?

Transformasi Peran dalam Rumah Tangga: Dulu dan Sekarang

Pada generasi sebelumnya, struktur peran rumah tangga cenderung bersifat konvensional dan hierarkis. Suami bekerja di luar rumah, sedangkan istri mengurus anak dan seluruh pekerjaan domestik. Model ini dianggap ideal dan sudah tertanam kuat dalam budaya masyarakat.

Kenali Tanda-Tanda Anak Bosan atau Cemas Selama Libur Panjang

Namun, dalam konteks parenting modern, khususnya pada pasangan milenial dan Gen Z, pola tersebut mulai ditinggalkan. Kedua pasangan sering kali sama-sama bekerja dan memiliki tanggung jawab finansial yang seimbang. Oleh karena itu, pembagian peran di rumah pun menjadi lebih fleksibel, berdiskusi, dan disesuaikan dengan kemampuan serta waktu masing-masing.

Nilai Keluarga Gen Z dan Kesetaraan dalam Rumah Tangga

Generasi Z dibesarkan di tengah perkembangan teknologi, akses luas terhadap informasi, serta eksposur terhadap isu kesetaraan gender sejak dini. Hal ini membentuk pola pikir bahwa peran rumah tangga dan parenting tidak boleh bergantung pada jenis kelamin semata.

‘Rich Dad, Poor Dad’ untuk Gen Z, Simak 5 Prinsip Investasi agar Gaji Tak Cuma Numpang Lewat

Bagi Gen Z, membangun keluarga adalah proyek bersama, bukan sekadar kewajiban individual. Mereka menekankan pentingnya komunikasi, transparansi, dan saling memahami kapasitas satu sama lain. Tidak heran jika banyak pasangan Gen Z yang menyusun kesepakatan pembagian tugas secara eksplisit sejak awal pernikahan.

Dalam praktiknya, hal ini terlihat dalam rutinitas sehari-hari. Ayah tak lagi segan untuk mengganti popok, memasak, atau menjemput anak sekolah. Sementara ibu pun tetap menjalankan karier profesional sambil menjalankan peran pengasuhan. Peran menjadi lebih cair, menyesuaikan dinamika pekerjaan dan kondisi rumah tangga.

Dampak Positif Pembagian Peran yang Seimbang

Dalam konteks parenting, pembagian peran yang adil dapat memberikan dampak yang sangat signifikan. Pertama, hubungan antara suami dan istri menjadi lebih harmonis karena tidak ada satu pihak yang terbebani secara tidak proporsional. Kedua, anak akan tumbuh dengan melihat contoh hubungan yang setara dan saling mendukung.

Keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan juga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan emosi dan psikologis anak. Anak merasa lebih dekat dengan kedua orang tua, serta tumbuh dalam lingkungan yang penuh dukungan emosional dari kedua belah pihak.

Selain itu, pembagian peran ini juga dapat mencegah kelelahan emosional atau burnout, terutama bagi ibu yang dalam pola lama sering memikul beban ganda tanpa bantuan. Dengan berbagi tanggung jawab, keseimbangan antara kehidupan pribadi, keluarga, dan pekerjaan menjadi lebih mudah dicapai.

Tantangan dalam Pembagian Peran Rumah Tangga

Meski banyak manfaat, tidak semua pasangan Gen Z berhasil menerapkan sistem ini tanpa kendala. Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan ekspektasi. Dalam beberapa kasus, pasangan memiliki pandangan berbeda mengenai seberapa banyak tanggung jawab yang harus diambil masing-masing pihak. Hal ini dapat memicu konflik jika tidak dikelola dengan komunikasi yang baik.

Selain itu, tekanan sosial dari lingkungan sekitar juga bisa memengaruhi. Di masyarakat yang masih memegang teguh nilai patriarkis, ayah yang terlalu aktif di rumah kadang dianggap “kurang laki-laki”, sementara ibu yang bekerja dianggap “tidak cukup mengurus anak”. Tekanan semacam ini bisa menimbulkan dilema psikologis bagi pasangan muda.

Masalah lain yang muncul adalah beban kerja rumah tangga yang tidak terlihat, atau dikenal sebagai mental load. Meskipun ayah mungkin turut membantu secara fisik, banyak ibu masih memikul beban perencanaan dan pengaturan yang bersifat mental dan emosional—dari mengingat jadwal imunisasi anak hingga menyiapkan keperluan sekolah.

Keseimbangan adalah kunci. Tidak ada sistem yang berlaku universal karena setiap pasangan memiliki konteks dan tantangan unik. Yang terpenting adalah adanya kesadaran, keterbukaan, dan evaluasi bersama secara berkala agar rumah tangga tetap berjalan harmonis.