5 Kebiasaan Orang Jepang yang Bikin Geleng-geleng Kepala, Beda Jauh dari Indonesia!

Ilustrasi Kecantikan ala Wanita Jepang
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle – Pernahkah Anda membayangkan berlibur ke negeri yang sangat menjunjung tinggi etika, disiplin, dan kebersihan? Tentu, jawabannya adalah Jepang. Negara Matahari Terbit ini selalu berhasil memikat jutaan wisatawan dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, bukan hanya karena keindahan alamnya yang menawan atau teknologi super canggihnya, tetapi juga karena budaya dan kebiasaan masyarakatnya yang unik.

Bagi sebagian besar orang Indonesia, kebiasaan orang Jepang seringkali terasa sangat kontras, bahkan bisa membuat kita geleng-geleng kepala. Perbedaan budaya ini tidak hanya sekadar soal sopan santun, tetapi juga meresap hingga ke hal-hal paling sepele dalam kehidupan sehari-hari.

Mulai dari cara mereka makan, naik transportasi umum, hingga bagaimana mereka bekerja. Untuk Anda yang berencana berkunjung atau hanya sekadar ingin tahu, yuk kita kupas tuntas 5 kebiasaan orang Jepang yang paling bikin kita tercengang!

1. Budaya "Shushoku" di Kereta: Hening Adalah Emas

Di Indonesia, menggunakan transportasi umum seperti kereta seringkali diwarnai dengan keramaian. Orang-orang sibuk menelepon, mengobrol dengan keras, atau mendengarkan musik dengan volume tinggi. Namun, pemandangan ini tidak akan Anda temui di Jepang. Di sana, keheningan di kereta api adalah aturan tidak tertulis yang sangat dijunjung tinggi. Orang Jepang menyebutnya shushoku, yaitu "budaya diam" atau "kebiasaan hening".

Ketika berada di dalam gerbong, hampir semua orang akan diam. Mereka sibuk dengan buku, smartphone (dalam mode senyap), atau bahkan sekadar memejamkan mata. Telepon seluler harus diatur dalam mode senyap atau getar, dan berbicara melalui telepon sangat dihindari. 

Jika benar-benar terpaksa, mereka akan keluar dari gerbong atau berbicara dengan suara sangat pelan. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap privasi dan kenyamanan sesama penumpang. Kebiasaan ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga ruang publik agar tetap damai dan nyaman untuk semua orang.

2. Tepat Waktu: Bukan Pilihan, tapi Kewajiban

Konsep tepat waktu di Jepang bukan hanya sekadar anjuran, melainkan bagian dari integritas dan profesionalisme. Jadwal kereta api, bus, hingga janji temu bisnis, semua harus berjalan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Keterlambatan satu atau dua menit saja sudah dianggap sebagai masalah serius, apalagi dalam dunia profesional.

Hal ini berbeda jauh dengan budaya "jam karet" yang terkadang masih dijumpai di Indonesia. Bagi orang Jepang, keterlambatan dianggap tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang lain yang harus menunggu. 

Budaya ini tercermin dalam sistem transportasi publik mereka yang sangat efisien dan selalu tepat waktu, di mana penundaan jarang sekali terjadi. Tepat waktu adalah cerminan dari rasa hormat, tanggung jawab, dan kedisiplinan yang tinggi.

3. Tidak Makan Sambil Berjalan atau Berdiri

Di Indonesia, kita sering melihat orang makan sambil berjalan di mal, atau menikmati makanan ringan sambil berdiri di pinggir jalan. Kebiasaan ini tidak akan Anda temukan di Jepang, terutama di kota-kota besar. Orang Jepang memiliki etika makan yang ketat, salah satunya adalah tidak makan sambil berjalan (tabearuki).

Mereka percaya bahwa makan adalah ritual yang harus dilakukan dengan tenang, duduk, dan fokus. Jika Anda membeli makanan dari penjual di pinggir jalan, biasanya Anda akan menemukan area kecil di sekitarnya untuk berdiri dan menghabiskan makanan Anda di tempat. 

Setelah selesai, barulah Anda melanjutkan perjalanan. Kebiasaan ini tidak hanya soal sopan santun, tetapi juga tentang menghormati makanan dan lingkungan sekitar. Mereka ingin memastikan tidak ada remah atau sampah yang berserakan di jalanan.

4. Budaya Pemberian Hadiah dan "Omiyage"

Meskipun kebiasaan memberi hadiah ada di mana-mana, di Jepang, budaya ini memiliki arti yang jauh lebih dalam. Konsep omiyage (oleh-oleh) sangat mengakar. Ketika seseorang melakukan perjalanan, baik untuk liburan atau bisnis, mereka merasa wajib membawa omiyage untuk teman kerja, keluarga, dan tetangga. Hadiah ini biasanya berupa makanan khas dari daerah yang dikunjungi dan dikemas dengan sangat rapi.

Pemberian omiyage bukan sekadar berbagi, melainkan simbol dari rasa terima kasih, kenangan dari perjalanan, dan upaya untuk menjaga hubungan baik. Hal ini berbeda dengan kebiasaan di Indonesia, di mana oleh-oleh seringkali dianggap sebagai pilihan, bukan kewajiban sosial yang harus dipenuhi.

5. Menolak Uang Kembalian (dan Tip)

Ini mungkin salah satu hal yang paling mengejutkan bagi banyak wisatawan. Di Jepang, memberi tip dianggap tidak sopan dan bahkan bisa dianggap menghina. Karyawan di industri jasa, seperti restoran atau taksi, digaji dengan layak, dan mereka merasa memberikan pelayanan terbaik adalah bagian dari pekerjaan mereka. Menerima tip bisa diartikan sebagai "Anda tidak puas dengan gaji yang saya terima."

Selain itu, orang Jepang sangat teliti dalam hal uang kembalian. Mereka tidak akan menerima jika Anda membulatkan uang pembayaran, bahkan jika itu hanya selisih beberapa yen. Mereka akan berusaha mencari uang pas atau menggunakan mesin kasir khusus agar uang kembalian diberikan dengan akurat. 

Kejujuran dan integritas dalam transaksi finansial adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Sikap ini sangat kontras dengan beberapa kebiasaan di Indonesia, di mana sisa kembalian receh seringkali diabaikan atau bahkan dianggap tidak penting.