15 Hal Misterius tentang Korea Utara yang Membingungkan Dunia

Korea Utara
Sumber :
  • Pixabay

Ibu kota Pyongyang dirancang sebagai etalase kemajuan Korea Utara. Dengan jalan-jalan yang bersih, bangunan megah seperti Menara Juche, dan monumen raksasa, kota ini tampak seperti utopia. Namun, hanya warga dengan status Songbun tinggi—indikator loyalitas kepada rezim—yang diizinkan tinggal di sini. Pengunjung asing sering merasa seperti berada dalam “panggung teater” karena suasana yang terkontrol ketat, dengan warga yang tampak berperilaku sesuai panduan pemerintah. Bahkan lampu kota sering dimatikan di malam hari untuk menghemat listrik, menambah kesan misterius.

4. Aturan Gaya Hidup: Potongan Rambut hingga Larangan Jeans

Pemerintah Korea Utara memberlakukan aturan ketat pada gaya hidup warga untuk menjaga identitas nasional dan menangkal pengaruh Barat. Warga harus memilih dari daftar potongan rambut resmi—sekitar 28 gaya untuk pria dan wanita—yang disetujui negara. Pakaian seperti jeans biru dilarang karena dianggap sebagai simbol kapitalisme. Wanita juga didorong memakai hanbok atau pakaian tradisional untuk acara resmi, sementara pakaian ketat atau mencolok dianggap tabu. Aturan ini mencerminkan obsesi rezim terhadap keseragaman dan kontrol.

5. Propaganda: Narasi yang Menyusup ke Segala Aspek

Propaganda adalah tulang punggung kehidupan di Korea Utara. Poster, mural, dan slogan yang memuji dinasti Kim atau mencela “musuh” seperti Amerika Serikat dan Jepang menghiasi ruang publik, sekolah, dan tempat kerja. Lagu-lagu patriotik diputar melalui pengeras suara di kota-kota, dan anak-anak diajarkan sejak dini untuk memuja pemimpin. Bahkan seni dan sastra harus selaras dengan ideologi Juche, menjadikan propaganda bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

6. Wisata Terkontrol: Petualangan dalam Pengawasan

Meski membuka pintu bagi wisatawan, Korea Utara menawarkan pengalaman yang sangat terkontrol. Turis hanya boleh mengunjungi situs yang disetujui, seperti Monumen Mansudae atau DMZ (Zona Demiliterisasi) di Panmunjom, dan selalu didampingi dua pemandu resmi. Mengambil foto sembarangan, terutama yang menunjukkan kemiskinan atau ketidaksempurnaan, dilarang keras. Banyak wisatawan menggambarkan kunjungan mereka seperti “perjalanan waktu” ke era Soviet, dengan arsitektur kuno, minimnya teknologi modern, dan suasana yang penuh disiplin.