Pentingnya Kesehatan Mental Anak, Cara Orang Tua Korea Menghadapi Lonjakan Kasus Depresi Para Remaja

Ilustrasi kuil di Korea
Sumber :
  • Pixabay

Lifestyle –Di tengah gemerlap budaya K-pop dan prestasi akademik yang membanggakan, Korea Selatan menghadapi tantangan serius terkait kesehatan mental anak dan remaja. Lonjakan kasus depresi di kalangan remaja menjadi perhatian utama, didorong oleh tekanan akademik yang ekstrem dan ekspektasi sosial yang tinggi. 

Dalam konteks ini, parenting menjadi elemen kunci dalam membantu anak mengatasi stres dan membangun ketahanan emosional. Pola asuh yang tepat tidak hanya mendukung perkembangan anak secara holistik, tetapi juga mencegah dampak buruk dari masalah kesehatan mental. 

Artikel ini mengeksplorasi pentingnya kesehatan mental anak, faktor penyebab depresi di Korea Selatan, dan strategi parenting yang diterapkan orang tua Korea untuk menghadapi tantangan ini.

Lonjakan Kasus Depresi di Kalangan Remaja Korea Selatan

Data dari Korea Institute for Health and Social Affairs (2023) menunjukkan bahwa sekitar 25% remaja Korea Selatan mengalami gejala depresi, angka yang meningkat tajam dalam dekade terakhir. Faktor utama meliputi sistem pendidikan yang sangat kompetitif, di mana ujian masuk universitas (Suneung) menjadi penentu masa depan. Banyak remaja menghabiskan hingga 14 jam sehari untuk belajar, termasuk menghadiri hagwon (lembaga bimbingan belajar) setelah sekolah.

Tekanan dari media sosial, yang mendorong perbandingan dengan teman sebaya, serta ekspektasi keluarga yang tinggi, turut memperburuk situasi. Dampaknya signifikan: penurunan prestasi akademik, isolasi sosial, dan dalam kasus ekstrem, risiko perilaku berbahaya seperti menyakiti diri sendiri.

Pentingnya Kesehatan Mental Anak

Kesehatan mental anak didefinisikan sebagai keseimbangan emosional, psikologis, dan sosial yang memungkinkan mereka menghadapi tantangan hidup dengan percaya diri. Dalam konteks parenting, kesehatan mental yang baik mendukung perkembangan jangka panjang, termasuk kemampuan akademik, hubungan sosial, dan kesiapan menghadapi dunia kerja. 

Anak dengan kesehatan mental yang stabil cenderung memiliki ketahanan (resilience) yang lebih baik dalam menghadapi tekanan. Sebaliknya, mengabaikan kesehatan mental dapat menyebabkan gangguan kecemasan, depresi kronis, atau masalah perilaku yang sulit diatasi di kemudian hari. Oleh karena itu, pola asuh yang mendukung kesehatan mental menjadi prioritas bagi orang tua modern.

Faktor Budaya di Korea Selatan yang Mempengaruhi Kesehatan Mental

Budaya Konfusianisme di Korea Selatan menempatkan pendidikan dan hormat kepada orang tua sebagai nilai utama, yang sering kali mendorong ekspektasi tinggi terhadap anak. Sistem pendidikan yang menuntut siswa untuk unggul dalam ujian nasional menciptakan lingkungan yang penuh tekanan. 

Menurut OECD, rata-rata siswa Korea Selatan menghabiskan 2.900 jam per tahun untuk belajar, jauh di atas rata-rata global. Stigma terhadap kesehatan mental juga menjadi hambatan; banyak keluarga enggan mencari bantuan profesional karena khawatir dianggap lemah. Faktor-faktor ini menciptakan tantangan besar bagi parenting di Korea Selatan, di mana orang tua harus menyeimbangkan ambisi akademik dengan kesejahteraan anak.

Strategi Parenting Orang Tua Korea untuk Mengatasi Depresi Remaja

Orang tua Korea mulai mengadopsi berbagai pola asuh untuk mengatasi lonjakan depresi di kalangan remaja. Pendekatan tradisional melibatkan komunikasi terbuka dengan anak untuk memahami tekanan yang mereka hadapi. Beberapa keluarga mengurangi intensitas les hagwon, memberikan anak waktu untuk bersantai atau mengejar hobi. Pendekatan modern mencakup partisipasi dalam seminar parenting tentang kesehatan mental, yang kini banyak diadakan di kota-kota besar seperti Seoul. 

Aplikasi kesehatan mental, seperti TalkTalk atau MindDoc, juga semakin populer di kalangan orang tua untuk memantau kesejahteraan anak. Selain itu, kolaborasi dengan sekolah melalui program konseling mulai diterapkan, seperti inisiatif di SMA di Gangnam yang menawarkan sesi konseling mingguan. Contoh nyata adalah kisah keluarga Kim di Busan, yang berhasil membantu anak remaja mereka mengatasi kecemasan dengan mengurangi jadwal belajar dan mendorong aktivitas seni.

Peran Pakar dan Solusi Alternatif

Psikolog anak, seperti Dr. Lee Soo-jin dari Yonsei University, menekankan pentingnya mendengarkan anak tanpa menghakimi untuk membangun kepercayaan. Pakar merekomendasikan pengajaran keterampilan manajemen stres, seperti meditasi atau mindfulness, yang terbukti efektif dalam mengurangi kecemasan. 

Orang tua juga didorong untuk mendukung aktivitas non-akademik, seperti olahraga atau seni, untuk menciptakan keseimbangan hidup. Pemerintah Korea Selatan telah meluncurkan inisiatif seperti hotline krisis 24 jam (1599-5599) dan pelatihan guru untuk mengenali tanda-tanda depresi. Sebagai perbandingan, negara seperti Finlandia menerapkan pendekatan pendidikan yang lebih santai, dengan fokus pada kesejahteraan siswa, yang dapat menjadi inspirasi bagi pola asuh di Korea Selatan.

Tips Praktis untuk Orang Tua

Dalam menerapkan parenting yang mendukung kesehatan mental, orang tua dapat memulai dengan membangun komunikasi suportif, seperti mengadakan waktu khusus untuk berbincang dengan anak setiap hari. Mengenali tanda-tanda depresi, seperti perubahan suasana hati, kehilangan minat, atau gangguan tidur, sangat penting untuk intervensi dini. 

Orang tua juga dapat mendorong keseimbangan dengan mengatur jadwal yang mencakup waktu untuk belajar, bermain, dan keluarga. Jika diperlukan, mencari bantuan profesional dari konselor atau psikolog anak adalah langkah bijak. Sumber daya seperti buku parenting, komunitas online, atau aplikasi kesehatan mental dapat membantu orang tua memahami kebutuhan anak mereka dengan lebih baik.