Capek Jadi Budak Korporat? Kenalan dengan Tren Downshifting, Hidup Lebih Tenang dan lebih Seimbang

Ilustrasi kerja
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Di era modern ini, banyak orang bekerja lebih dari 8 jam sehari, lembur tanpa henti, dan merasa harus terus mengejar promosi agar dianggap berhasil. Namun, tak jarang setelah mencapai jabatan tinggi atau gaji besar, justru muncul rasa hampa, stres meningkat, waktu bersama keluarga hilang, dan kesehatan mental terganggu.

Di tengah tekanan budaya kerja seperti ini, muncul tren baru bernama downshifting. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar tren, tapi jalan keluar untuk hidup lebih tenang dan seimbang, meski konsekuensinya adalah gaji yang lebih kecil.

Lantas apa itu downshiftingSecara sederhana, downshifting adalah keputusan sadar untuk menurunkan ritme karier. Bisa berarti pindah ke pekerjaan yang lebih ringan, mengurangi jam kerja, atau memilih profesi dengan gaji lebih rendah, asalkan memberi waktu dan ruang untuk hidup yang lebih seimbang.

Menurut definisi dari Investopedia, downshifting sering dianggap sebagai bentuk kesederhanaan yang disengaja. Fokusnya bukan pada materi atau jabatan, melainkan kualitas hidup, kesehatan mental, waktu luang, dan hubungan sosial yang lebih baik.

Gerakan ini mulai populer sejak 1990-an, sebagai respons terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas tinggi. Seiring waktu, semakin banyak orang yang melihat bahwa kesuksesan sejati tidak hanya diukur dari angka gaji, tapi juga dari kebahagiaan sehari-hari.

Mengapa Orang Memilih Downshifting?

Ada banyak alasan mengapa profesional memutuskan untuk meninggalkan ’perlombaan karier’ (rat race) dan memilih jalur yang lebih sederhana:

  1. Butuh lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan keluarga.
    Banyak pekerja merasa bahwa meski uang cukup, mereka kehilangan momen penting bersama pasangan, anak, atau orang tua.
  2. Stres dan burnout.
    Tekanan pekerjaan yang tak ada habisnya membuat banyak orang lelah secara fisik dan mental. Sebuah studi dalam Frontiers in Psychology mencatat bahwa jam kerja panjang berhubungan erat dengan meningkatnya risiko kelelahan kronis dan depresi.
  3. Perubahan nilai hidup.
    Ada kalanya, setelah mencapai titik tertentu, orang menyadari bahwa karier bukanlah segalanya.
    Mereka mulai lebih menghargai waktu, kesehatan, dan kebebasan.
  4. Menghindari hidup yang hanya berputar pada jabatan dan gaji.
    Banyak yang merasa “terjebak” dalam rutinitas mengejar promosi, tapi lupa apa tujuan hidup sebenarnya.
     

Beberapa penelitian akademis memberi penjelasan mendalam mengenai fenomena downshifting ini. Sebut saja, profesor filsafat dari Macquarie University, Neil Levy. Dia menjelaskan bahwa orang yang melakukan downshifting mencari makna hidup yang lebih dalam.

“Orang-orang mengurangi jam kerja supaya punya lebih banyak kesempatan untuk aktivitas bermakna seperti persahabatan, pengembangan diri, dan waktu bersama keluarga,” tulis dia.

Dalam penelitian berjudul “Downshifting: An Exploration of Motivations, Quality of Life, and Environmental Practices”, sosiolog Emily Huddart Kennedy dan rekan-rekannya menemukan bahwa meski pendapatan menurun, banyak orang justru melaporkan peningkatan kualitas hidup. Mereka menegaskan, mengurangi jam kerja bisa menjadi solusi individual bagi stres akibat beban kerja panjang.

”Banyak downshifter melaporkan kesejahteraan psikologis meningkat dan merasa lebih puas dengan kehidupan sehari-hari,” demikian kutipan penelitian tersebut.

Sementara itu, studi “Downshifting: A Career Construction Perspective” yang ditulis oleh Raymond C.H. Loi dan koleganya menekankan bahwa downshifting bukan sekadar mundur dari karier. Mereka mendefinisikannya sebagai keputusan karier di mana seseorang turun dari tangga karier atau memilih pekerjaan dengan bayaran lebih rendah untuk mencari makna hidup.

Studi ini juga menemukan bahwa orang dengan motivasi eudaimonik (ingin hidup bermakna), rasa kendali atas hidupnya, dan kemampuan adaptasi tinggi cenderung merasa lebih puas dengan hidup setelah melakukan downshifting.

Keuntungan & Risiko Downshifting

Keuntungan:

  • Lebih banyak waktu berkualitas. Pekerjaan tidak lagi menguras seluruh energi, sehingga ada ruang untuk keluarga, hobi, atau sekadar istirahat.
  • Kesehatan mental membaik. Tekanan berkurang, stres menurun, dan tubuh bisa pulih dari ritme kerja yang melelahkan.
  • Hidup lebih sederhana dan ramah lingkungan. Banyak downshifter yang otomatis mengurangi konsumsi, sehingga lebih hemat dan lebih berkelanjutan.

Risiko:

  • Pendapatan menurun. Ini bisa menjadi tantangan besar, terutama bila gaya hidup atau kebutuhan finansial masih tinggi.
  • Kehilangan status atau identitas profesional. Bagi sebagian orang, jabatan adalah bagian dari harga diri. Turun jabatan bisa memunculkan rasa minder.
  • Tekanan sosial. Lingkungan sekitar mungkin menganggap keputusan downshifting sebagai langkah mundur, bukan pilihan sadar.
  • Stres finansial baru. Jika tidak ada perencanaan keuangan matang, penghasilan yang lebih kecil justru bisa menambah masalah.

Bagaimana Memulai Downshifting dengan Bijak

Bagi Anda yang mulai merasa lelah jadi 'budak karier', ada beberapa langkah aman untuk memulai downshifting:

  1. Evaluasi keuangan. Pastikan Anda tahu berapa biaya hidup minimal yang dibutuhkan. Siapkan dana darurat agar tidak panik ketika pendapatan menurun.
  2. Tentukan prioritas. Apa yang benar-benar penting? Waktu bersama anak, kesehatan, kebebasan, atau mengejar hobi yang tertunda?
  3. Mulai bertahap. Anda tidak harus langsung resign. Bisa dimulai dengan mengurangi jam kerja, negosiasi kerja fleksibel, atau pindah ke divisi dengan beban lebih ringan.
  4. Komunikasi dengan keluarga. Keputusan ini menyangkut seluruh anggota rumah tangga. Pastikan pasangan atau anak memahami dan mendukung perubahan.
  5. Siapkan rencana cadangan. Jaga keterampilan tetap terasah, bangun jaringan, atau punya side hustle. Dengan begitu, Anda tidak benar-benar kehilangan arah karier.