Antara Bertahan dan Mundur: Beratnya Memutuskan Resign Saat Jadi Sandwich Generation

Ilustrasi Sandwich Generation Bayar Semua Kebutuhan Rumah
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Kamu tidak pernah benar-benar bisa istirahat. Bahkan ketika tubuhmu rebah, pikiranmu tetap berjalan: “Tagihan listrik belum dibayar, cicilan rumah sudah jatuh tempo, adik minta bantu uang semesteran, Mama butuh biaya kontrol bulanan.” Semua datang bersamaan, menuntut hadirnya solusi—dan kamu, satu-satunya tempat bergantung.

Kamu mencintai mereka. Tak pernah sekalipun merasa terbebani karena harus jadi penopang. Tapi ketika pekerjaan mulai menggerus kesehatan mentalmu, saat kamu merasa kehilangan semangat, kehilangan makna—muncul keinginan untuk menyerah. Untuk rehat. Tapi bagaimana bisa, jika mundur berarti membiarkan keluarga goyah?

Di sinilah dilema itu tumbuh. Bertahan di pekerjaan yang menyiksa, atau keluar demi kesehatan jiwa namun berisiko menggoyahkan stabilitas rumah? Artikel ini akan membawamu menyelami tekanan emosional sandwich generation, menjelaskan kenapa dilema ini valid dan nyata, dan menghadirkan panduan psikologis dari pakar internasional untuk membantumu membuat keputusan yang paling sehat, bukan hanya untuk keluargamu, tapi juga untuk dirimu sendiri.

Sandwich Generation: Terhimpit Dua Dunia

Istilah sandwich generation pertama kali dikenalkan oleh seorang pekerja sosial dan profesor asal Amerika Serikat, Dorothy A. Miller pada tahun 1981, untuk menggambarkan individu yang secara bersamaan harus mengurus orang tua yang menua dan anak-anak yang masih bergantung secara finansial maupun emosional. Di Indonesia, kondisi ini makin terasa di usia 30–40-an, ketika karier sedang diuji, tanggung jawab rumah tangga menumpuk, dan kebutuhan keluarga semakin mendesak.

Beban sandwich generation adalah keterjepitan itu datang dari dua sisi yang sama-sama kamu cintai. Kamu tidak hanya sibuk menghidupi keluarga, tapi juga memikul harapan yang datang dari dua generasi—ke atas dan ke bawah. Dan itu bukan hanya perkara uang. Ini tentang kehadiran. Tentang menjadi andalan yang tak boleh goyah, bahkan ketika kamu sendiri sebenarnya lelah.

Psikolog klinis asal Inggris, Dr. Julie Smith, menyebut kondisi ini sebagai bentuk chronic emotional load, yaitu tekanan emosional jangka panjang yang mengikis daya tahan mental.

“Orang dalam posisi sandwich generation sering kali merasa harus selalu mengorbankan kebutuhan pribadinya, dan akhirnya kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri,” ungkapnya dalam wawancaranya dengan The Guardian

Kenapa Memutuskan Resign di Posisi Ini Sangat Berat

Resign di kondisi biasa saja sudah sulit, apalagi jika kamu sedang berada di posisi sebagai tulang punggung keluarga atau sandwich generation. Ini bukan sekadar tentang meletakkan pekerjaan, tetapi tentang melepaskan stabilitas, jaminan bulanan, dan satu-satunya hal yang membuat keuangan keluargamu tetap berputar.

Psikolog organisasi dari University of Southern California, Dr. Teresa Amabile, menyebutkan bahwa ketika seseorang memegang peran sentral dalam menopang keluarga, keputusan untuk mundur dari pekerjaan bukan hanya tentang karier pribadi, tapi ikut melibatkan nilai tanggung jawab, harga diri, dan rasa aman seluruh sistem keluarga.

Beban emosionalnya terasa seperti berdiri di ujung tebing, dengan ransel penuh batu di punggung, sambil menatap ke bawah tanpa tahu apakah akan ada jaring pengaman saat kamu akhirnya melompat.  Dalam banyak kasus, terutama di masyarakat Asia, meninggalkan pekerjaan juga diartikan sebagai meninggalkan tanggung jawab. Padahal tidak selalu begitu. Tapi perasaan bersalah—baik yang nyata maupun yang ditanamkan sejak kecil—membuat keputusan itu jadi berkali-kali lipat lebih berat.

Tekanan Emosional: Antara Rasa Bersalah dan Kewajiban

Satu sisi dari menjadi tulang punggung adalah rasa bangga. Tapi sisi lain yang sering tak dibicarakan adalah rasa bersalah. Bersalah karena tidak bisa selalu ada, karena kadang kamu memilih tidur satu jam lebih awal daripada mendengarkan cerita adik. Sebab kamu tidak bisa segera pulang saat Ibu jatuh di kamar mandi.

Rasa bersalah ini berbahaya karena sering kali tersamar sebagai “tanggung jawab”. Padahal, menurut psikolog riset asal Amerika Serikat, Dr. Brené Brown, rasa bersalah yang terus-menerus tanpa ruang pemulihan justru memicu toxic shame—rasa malu yang membuat kita merasa tidak cukup, bahkan ketika kita sudah memberikan segalanya.

“Perasaan bersalah bisa menjadi indikator moralitas, tapi jika tidak dikelola, itu berubah menjadi beban batin yang sangat menggerogoti,” tulis Brown dalam bukunya Atlas of the Heart.

Kamu jadi hidup dalam dua dunia yang saling tarik menarik. Satu sisi ingin bertahan, karena takut mengecewakan orang yang kamu sayangi. Di sisi lain, kamu ingin pergi, karena tahu bahwa mentalmu mulai rapuh. Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi soal logika, tapi tentang keberanian untuk mengakui: bahwa kamu juga manusia. Kamu juga berhak istirahat dan kadang, memilih diri sendiri bukan berarti egois tapi justru penyelamatan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

1. Akui Bebanmu, Jangan Kecilkan

Langkah pertama adalah validasi. Kamu bukan egois karena ingin berhenti. Kamu hanya manusia yang sudah terlalu lama menanggung lebih dari satu beban tanpa bantuan.

2. Refleksi Realistis: Bertahan atau Mundur?

Gunakan metode pros-cons secara emosional, bukan hanya finansial.

  • Apakah pekerjaan ini merusak hubunganmu dengan keluarga?
  • Apakah kamu masih punya ruang untuk sembuh bila bertahan?
  • Apa risiko paling buruk dari resign—dan apa rencana mitigasinya?

Tulis semua itu. Jangan hanya pikirkan, tapi lihat hitam di atas putihnya.

3. Libatkan Orang-Orang Terdekat

Kamu mungkin terbiasa mengambil keputusan sendiri, tapi kini waktunya berbagi. Diskusikan kondisi dan dilema ini dengan pasangan, saudara kandung, atau bahkan anak jika sudah cukup dewasa. Dukungan emosional sering datang dari mendengarkan dan dimengerti.

4. Konsultasi Profesional

Kalau kamu mulai merasa burnout, sulit tidur, dan kehilangan minat hidup, bertemu psikolog bukan tanda kegagalan—itu bentuk keberanian. Banyak psikolog kini menawarkan sesi online dengan harga terjangkau.

5. Bangun Skenario Transisi

Jika resign adalah opsi yang tak terhindarkan, rencanakan:

  • Tabungan minimal 3 bulan.
  • Penghasilan alternatif, bahkan dari pekerjaan freelance.
  • Konsolidasi keuangan bersama anggota keluarga lain.

“Mengambil jeda bukan berarti menyerah. Itu bisa jadi langkah strategis untuk tetap bertahan dalam jangka panjang,” — ungkap psikolog organisasi dari Wharton Business School, Dr. Adam Grant.

Akhirnya, Ini Bukan Tentang Ego. Ini Tentang Bertahan dengan Waras

Bertahan karena rasa cinta pada keluarga memang mulia. Tapi jika itu membuatmu kehilangan koneksi pada dirimu sendiri, maka perlahan-lahan kamu tidak lagi hadir sepenuhnya—baik di pekerjaan, maupun di rumah. Sesekali bertanya 'kalau aku tetap begini setahun lagi, apakah aku masih bisa tersenyum dengan tulus?' bisa menjadi kompas sederhana di tengah keputusan besar yang sulit.

Ingat, keputusanmu tidak harus instan. Tapi semakin kamu berani melihat situasi dengan jujur, semakin kamu memberi ruang bagi harapan untuk tumbuh dan siapa tahu, dari ruang itulah akhirnya jalanmu terlihat.