Kenapa Wanita Sering Dicap Terlalu Emosional?

Ilustrasi wanita dicap emosional
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Pernahkah kamu menyampaikan pendapat dengan tegas, namun justru dianggap berlebihan? Atau saat kamu menunjukkan emosi—marah, sedih, kecewa—orang-orang di sekitarmu langsung menilai kamu terlalu emosional? Ini bukan hanya terjadi padamu. Ribuan, bahkan jutaan wanita di seluruh dunia pernah mengalami hal yang sama.

Label 'terlalu emosional' sering dilekatkan pada wanita, seolah-olah perasaan yang muncul itu tidak valid, tidak logis, dan tidak pantas ditunjukkan. Padahal, emosi adalah bagian alami dari manusia. Lantas, mengapa ekspresi emosi pada wanita sering dianggap kelemahan, sementara pada pria justru sering dipersepsikan sebagai ketegasan? Mari kita gali lebih dalam, bersama pandangan para psikolog kenamaan dari Amerika Serikat dan Inggris, untuk memahami akar masalah ini.

Asal Usul Stereotip: Warisan Budaya yang Mengakar

Menurut profesor psikologi dari Northeastern University dan penulis buku How Emotions Are Made, Dr. Lisa Feldman Barrett label ‘terlalu emosional’ adalah konstruksi sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Kita dibesarkan dalam budaya yang memberi ruang lebih besar bagi pria untuk dianggap rasional dan bagi wanita untuk dianggap emosional. Ini bukan karena otak wanita berbeda secara dramatis, tetapi karena peran dan ekspektasi sosial yang terus-menerus dibentuk,” jelas Barrett.

Stereotip ini terbentuk dari kombinasi pengaruh budaya, media, dan norma gender yang membatasi ekspresi wanita, bahkan ketika emosi mereka sangat valid. Akibatnya, ketika seorang wanita menunjukkan ketegasan, ia bisa dianggap agresif. Ketika ia menunjukkan kesedihan atau frustasi, ia bisa langsung dilabeli dramatis.

Otak Wanita vs. Otak Pria: Apakah Benar Beda Secara Emosional?

Perdebatan tentang perbedaan otak pria dan wanita sudah berlangsung selama puluhan tahun. Banyak yang percaya bahwa wanita memang secara biologis lebih emosional karena struktur otaknya. Namun, sains menunjukkan bahwa kenyataannya jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana itu.

Menurut profesor emeritus neuroimaging dari Aston University, Inggris, dan penulis buku The Gendered Brain, Dr. Gina Rippon gagasan bahwa otak wanita “lebih emosional” adalah hasil dari bias budaya yang lama tertanam, bukan fakta ilmiah.

“Tidak ada yang namanya otak pria atau otak wanita. Yang ada adalah otak manusia yang sangat plastis—bentuk dan fungsinya sangat dipengaruhi oleh pengalaman, bukan hanya oleh jenis kelamin,” ujar Rippon.

Namun, ada beberapa hal menarik yang ditemukan dalam riset ilmiah. Misalnya, studi pencitraan otak menunjukkan bahwa wanita memiliki aktivitas yang lebih tinggi di amigdala kiri, bagian otak yang terlibat dalam pengolahan emosi dan ekspresi verbal, sedangkan pria lebih dominan pada amigdala kanan, yang lebih terkait dengan respons fisik dan tindakan.

Selain itu, hipokampus, yang berperan dalam penyimpanan memori emosional, cenderung lebih besar pada wanita. Ini menjelaskan mengapa wanita lebih mudah mengingat detail emosi dari suatu peristiwa. Tapi bukan berarti ini membuat wanita lemah. Justru, kemampuan ini memungkinkan mereka untuk membangun empati dan membentuk hubungan yang lebih dalam.

Neuropsikiater dan penulis The Female Brain, Dr. Louann Brizendine menekankan bahwa hormon seperti estrogen dan oksitosin memang membuat wanita lebih peka secara emosional, tetapi sensitivitas ini bukanlah cacat.

“Wanita bukan lebih emosional dalam arti negatif. Mereka hanya lebih canggih dalam membaca dan merespons sinyal emosional,” katanya.

Kesimpulannya? Otak wanita memang merespons emosi secara lebih kompleks dan nuansial. Namun bukan karena mereka ‘lemah’ atau ’berlebihan’, melainkan karena sistem saraf mereka lebih terlatih dalam membaca konteks emosional, suatu kemampuan yang seharusnya dianggap kekuatan, bukan kelemahan.

Double Standard dalam Dunia Kerja dan Relasi

Dalam dunia profesional, wanita yang bersikap tegas sering dianggap bossy. Sementara pria yang sama-sama tegas dipuji sebagai pemimpin. Dalam relasi, wanita yang mengungkapkan ketidaknyamanan sering dianggap ribet, sedangkan pria dianggap sedang jujur pada diri sendiri.

Menurut peneliti kerentanan dan keberanian dari University of Houston, Dr. Brené Brown, hal ini disebut sebagai double bind, situasi di mana wanita dihukum baik karena menunjukkan emosi maupun karena menekannya.

“Kita hidup dalam budaya yang mengagungkan pengendalian emosi, tapi hanya pada wanita. Kita lupa bahwa kekuatan sejati justru ada dalam keberanian untuk merasa dan mengungkapkan,” jelasnya.

Mengapa Label Ini Berbahaya

Melabeli wanita sebagai terlalu emosional bukan hanya membuat mereka merasa bersalah atas perasaannya sendiri, tetapi juga bisa membuat mereka meragukan intuisi dan suara hati mereka. Ini menciptakan kondisi yang disebut gaslighting emosional. Ketika seseorang diyakinkan bahwa perasaannya tidak valid atau berlebihan, padahal sebenarnya itu adalah reaksi wajar terhadap situasi.

Dampaknya? Wanita bisa kehilangan kepercayaan diri, menahan diri untuk bersuara, dan merasa tidak aman dalam mengekspresikan diri. Dalam jangka panjang, ini bisa mengganggu kesehatan mental dan relasi interpersonal.

Bagaimana Wanita Bisa Menyikapi Ini?

  1. Validasi Diri Sendiri
    Tidak semua orang akan mengerti perasaanmu, dan itu tidak apa-apa. Tapi kamu bisa belajar berkata, “Aku punya alasan merasa seperti ini, dan itu sah.”
  2. Gunakan Bahasa yang Tegas Tapi Empatik
    Ekspresi emosi tidak harus meledak. Dengan latihan, kamu bisa menyampaikan perasaan secara tegas tapi tetap tenang. Ini membantu menghindari penghakiman dan memperkuat posisi emosimu.
  3. Cari Dukungan yang Sehat
    Dikelilingi oleh orang yang menghormati emosimu sangat penting. Baik itu teman, pasangan, atau rekan kerja—pilih lingkungan yang tidak meremehkan apa yang kamu rasakan.
  4. Pahami Psikologi Emosi
    Dengan memahami bahwa emosi adalah proses biologis dan psikologis yang alami, kamu bisa melihatnya bukan sebagai hambatan, tapi sinyal dari tubuhmu tentang apa yang penting bagimu.

Perlunya Perubahan Cara Pandang Sosial

Agar stereotip ini tidak terus berulang, penting bagi masyarakat untuk mulai membedakan antara emosi yang sehat dan stigma atas ekspresi emosional. Pria dan wanita sama-sama memiliki hak untuk merasa, untuk kecewa, untuk marah, dan untuk sedih.

Perubahan bisa dimulai dari hal kecil—dari bagaimana kita menanggapi anak perempuan yang menangis, hingga bagaimana kita memberi ruang bagi kolega wanita untuk bicara di ruang rapat tanpa takut dilabeli terlalu emosional.

Emosi Bukan Beban, Tapi Bahasa Jiwa

Kita hidup dalam dunia yang sering kali menjunjung tinggi logika dan mengesampingkan emosi, padahal keduanya harus berjalan beriringan. Ketika wanita mengekspresikan perasaan, itu bukan tanda mereka lemah. Itu adalah keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri—di tengah dunia yang sering meminta untuk diam, tunduk, dan tersenyum meski terluka.

Menjadi wanita yang peka dan penuh perasaan bukan hal yang harus dibenahi. Justru, dunia yang harus belajar untuk lebih menghargai kejujuran emosi dan keberanian untuk merasakannya. Karena emosi bukanlah gangguan logika, tetapi bagian penting dari keputusan, hubungan, dan pertumbuhan manusia.

Dan jika suatu hari kamu kembali dicap terlalu emosional, mungkin itu saatnya kamu tidak lagi bertanya-tanya ada apa dengan dirimu—melainkan bertanya, ada apa dengan dunia yang tidak sanggup melihat keindahan dalam empati dan kejujuran perasaan?