Viral Tren ‘What Is My Curse?’ Bikin Netizen Ketagihan, Psikolog Ungkap Alasannya!

Tren What Is My Curse
Sumber :
  • website Tenorshare AI

Lifestyle –Belakangan ini, media sosial seperti TikTok dan X (Twitter) ramai dengan tren unik yang melibatkan ChatGPT. Pengguna menuliskan pertanyaan sederhana kepada AI yakni 'What is my curse?' atau 'Apa kutukan saya?' dan membagikan jawaban yang mereka dapatkan ke media sosial.

Hasilnya? Ribuan tangkapan layar yang lucu, nyeleneh, tapi sering kali terasa “kena banget” memenuhi linimasa. Ada yang jawabannya bikin ngakak, ada yang bikin merenung.

Misalnya, ChatGPT menyebut bahwa “kutukan” seseorang adalah terlalu banyak berpikir hingga sulit tidur, atau terlalu ingin menyenangkan orang lain sampai lupa diri sendiri.

Tren ini bukan sekadar hiburan. Banyak orang penasaran kenapa mereka begitu tertarik untuk “dibaca” oleh AI. Apakah ini hanya keisengan semata, atau ada faktor psikologi yang membuat kita nyaman mendengar kelemahan diri dari chatbot?

Mengenal Tren “What Is My Curse?”

Tren ini sederhana. Siapa pun bisa mencobanya Anda cukup buka ChatGPT atau chatbot AI lain, ketikkan “What is my curse?”, lalu tunggu jawaban yang muncul. Jawaban-jawaban itu sering kali dikemas dalam bahasa yang puitis, lucu, atau agak menyentil, sehingga terasa personal.

Contohnya:

  • “Your curse is that you care too much about people who don’t deserve it.”
  • “You always say yes, even when you want to say no.”
  • “You’re addicted to chasing perfection, and it keeps you stuck.”

Lantaran jawaban ini bisa cocok ke banyak orang, banyak yang merasa seolah-olah ChatGPT mengenal mereka. Dan di sinilah keunikan tren ini ada rasa ingin tahu bercampur sedikit humor gelap yang membuatnya viral.

Kenapa Kita Suka “Dibaca” oleh AI?

Secara psikologis, tren ini terkait dengan kebutuhan manusia untuk memahami diri sendiri. Banyak orang penasaran dengan kelemahan mereka, tapi enggan mendengarnya dari orang lain karena takut dihakimi.

Psikolog klinis sekaligus penulis buku Detox Your Thoughts, Dr. Andrea Bonior menjelaskan bahwa interaksi dengan AI memberikan rasa aman.

"Orang cenderung lebih nyaman mengeksplorasi kelemahan mereka dalam format yang ringan dan tidak menghakimi. Interaksi dengan AI memberikan ruang aman untuk itu," ujar Dr. Bonior dalam tulisannya di Psychology Today.

Jawaban ChatGPT juga terasa netral. Tidak ada nada menyalahkan atau membandingkan, sehingga orang lebih mudah menerima. Apalagi, ada unsur self-reflection yang menyenangkan di dalamnya, kita bisa merenung sambil tetap tertawa.

Ada satu konsep psikologi yang ikut berperan dalam popularitas tren ini, yaitu Forer Effect atau Barnum Effect. Ini adalah kecenderungan kita untuk menganggap deskripsi yang sifatnya umum sebagai sesuatu yang sangat personal.

ChatGPT memberikan jawaban yang cukup luas dan bisa berlaku untuk banyak orang, misalnya 'Anda terlalu banyak berpikir' atau 'Anda sering mengutamakan orang lain'. Lantaran sifatnya universal, orang merasa jawaban itu benar-benar menggambarkan diri mereka.

"Kita sering mengaitkan deskripsi umum sebagai sesuatu yang sangat cocok dengan diri kita. Itu sebabnya tren seperti ini terasa ‘mengena’," jelasnya.

Dengan kata lain, yang membuat kita merasa 'terbaca' bukan hanya kecanggihan AI, tetapi juga cara otak kita memproses informasi yang terasa relevan.

Manfaat Positif: Self-Reflection yang Menyenangkan

Meski terlihat sepele, tren ini bisa berdampak positif. Banyak orang jadi terdorong untuk melihat sisi diri mereka sendiri yang selama ini jarang disadari.

Dr. Bonior menilai bahwa cara seperti ini bisa membantu, selama kita memahaminya sebagai hiburan.

"Jika digunakan dengan tepat, interaksi semacam ini bisa memicu introspeksi. Humor membantu orang menerima kelemahan mereka tanpa rasa bersalah yang berlebihan," kata Bonior.

Tren ini juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Dengan melihat kelemahan melalui kacamata yang lebih ringan, kita bisa lebih mudah memperbaiki diri.

Tips dari Dr. Bonior untuk memanfaatkannya:

  1. Ambil sisi positifnya dan gunakan untuk refleksi ringan.
  2. Jangan menjadikan jawaban AI sebagai “label” diri yang permanen.
  3. Jika ada jawaban yang membuatmu gelisah, bicarakan dengan teman atau profesional.

Bagaimana Agar Tidak Terjebak?

Meski menyenangkan, kita perlu bijak. ChatGPT tidak benar-benar mengenal siapa kita, sehingga jawabannya tidak bisa dijadikan dasar penilaian diri.

Beberapa hal yang perlu diingat:

  • Anggap hanya hiburan. Jangan sampai jawaban AI membuatmu merasa buruk atau minder.
  • Jangan membagikan data pribadi. AI tidak perlu tahu identitasmu untuk menjawab pertanyaan ini.
  • Gunakan untuk refleksi, bukan untuk menyakiti diri. Jika merasa terganggu, berhentilah mencobanya.