Kenapa Orang Tua Semakin Sensitif dan Baperan Seiring Usia Bertambah?

Ilustrasi Lansia Hidup Bahagia dan Sejahtera
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Suatu hari, kamu mungkin hanya menolak ajakan makan malam karena sedang sibuk, lalu Papa tiba-tiba diam sepanjang malam. Atau Mama mulai membalas dengan nada tinggi hanya karena kamu menyarankan ia berhenti menyetrika agar tak capek. Situasi-situasi ini sering terjadi dalam banyak keluarga dan kerap membingungkan. Orang tua yang dulu tenang, penuh tawa, dan sabar, kini tampak jauh lebih mudah tersinggung. Apa yang sebenarnya terjadi?

Fenomena ini bukan hanya soal 'mereka jadi manja', 'ingin menang sendiri', atau 'drama karena tua'. Ada penjelasan psikologis dan biologis yang menjelaskan mengapa banyak lansia mengalami perubahan emosi. Dan untuk memahami ini, kita perlu masuk lebih dalam ke dunia batin mereka.

Menurut profesor psikiatri sekaligus direktur Geriatric Psychiatry Clinic di Johns Hopkins University School of Medicine, Dr. Susan W. Lehmann, perubahan emosi pada orang tua bukan hal yang aneh. Bahkan, itu adalah bagian dari proses penuaan yang alami namun sering diabaikan oleh keluarga.

"Penuaan membawa perubahan besar dalam tubuh dan pikiran. Lansia lebih rentan terhadap stres emosional karena kombinasi perubahan biologis, psikologis, dan sosial," kata Susan.

Dengan kata lain, perubahan ini bukan berarti mereka jadi cengeng atau drama, tapi tubuh dan pikiran mereka memang sedang berubah, dan perubahan itu tidak selalu nyaman.

Berikut ini beberapa alasan kenapa orang tua semakin sensitif seiring usia.

1. Perubahan Kimia Otak

Saat kita menua, otak kita juga ikut menua. Produksi zat kimia seperti serotonin dan dopamin yang mengatur suasana hati menurun. Akibatnya, kemampuan otak untuk mengatur emosi jadi melemah. Inilah alasan kenapa lansia bisa mudah tersinggung, cemas, atau bahkan menangis tanpa sebab jelas.

Perubahan ini bisa terjadi perlahan, bahkan tanpa disadari oleh mereka sendiri. Emosi kecil yang dulu bisa ditekan, kini lebih sering tumpah.

2. Merasa Tidak Lagi Dibutuhkan

Setelah anak-anak tumbuh dewasa dan punya hidup masing-masing, dan apalagi setelah pensiun, banyak orang tua merasa seperti kehilangan identitas. Tak ada lagi peran sebagai pengambil keputusan utama atau sebagai pencari nafkah. Mereka mungkin merasa tak lagi relevan dalam keluarga.

"Hilangnya peran sosial adalah salah satu pemicu utama kepekaan emosional. Mereka tidak lagi merasa punya ‘tempat penting’," jelas Lehmann.

Maka ketika anak mulai mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan mereka, atau saat nasihat mereka diabaikan, luka kecil di dalam hati itu bisa muncul jadi ledakan emosi.

3. Ketergantungan yang Tak Disukai

Seiring bertambah usia, kemampuan fisik menurun: pendengaran mulai terganggu, mata kabur, lutut sakit, atau tangan gemetar. Hal-hal sederhana seperti menyetir atau naik tangga jadi menantang. Ketergantungan pada orang lain pun meningkat  sesuatu yang tidak mudah diterima bagi orang tua yang dulunya mandiri.

Saat anak menawari bantuan atau melarang ini-itu demi kebaikan, mereka bisa merasa dikontrol atau dianggap lemah. 'Aku ini masih bisa sendiri!' bisa jadi reaksi spontan yang sebenarnya dipicu oleh rasa kehilangan kendali atas hidup sendiri.

4. Kecemasan akan Masa Tua dan Kematian

Bertambahnya usia membuat lansia lebih sering memikirkan kematian. Teman sebaya yang satu per satu wafat, tubuh yang tidak sekuat dulu, hingga pikiran bahwa waktu hidup sudah tak panjang lagi,  semua menjadi beban emosional yang tak selalu mereka utarakan.

Ketakutan ini kadang muncul dalam bentuk ledakan kecil: marah, sedih, sensitif, atau cemas. Menurut Lehmann, banyak lansia tak menyadari bahwa emosi ini berasal dari kekhawatiran mendalam tentang sisa hidup mereka.

Kalau Tak Dipahami, Apa Dampaknya?

Ketika anak-anak tidak memahami perubahan ini, konflik dalam rumah bisa semakin sering terjadi. Komentar seperti, 'Ah Mama makin tua makin ribet!' atau 'Papa kok gampang marah, sih?' hanya akan memperparah perasaan tersinggung mereka. Orang tua bisa merasa tidak dihargai, makin menarik diri, bahkan diam-diam menyimpan kesedihan.

Lehmann mengingatkan bahwa ini bisa menjadi awal dari kondisi psikologis yang lebih serius, seperti depresi atau gangguan kecemasan.

"Siklus emosional ini bisa berputar tanpa henti. Keluarga yang tidak peka dapat tanpa sadar memperburuk kondisi psikologis orang tua," kata dia.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan sebagai Anak?

1. Berhenti Membantah, Mulailah Mendengarkan

Bahkan jika kamu merasa orang tuamu terlalu dramatis, cobalah dengarkan dulu. Bukan untuk memberi solusi, tapi sekadar hadir. Kadang, yang mereka butuhkan hanya validasi bahwa perasaan mereka didengar dan dimengerti.

2. Gunakan Bahasa yang Lembut dan Menghargai

Alih-alih berkata, “Sudahlah, Mama salah kok,” cobalah katakan, “Aku ngerti maksud Mama, boleh aku kasih pendapat juga?”
Pilih kata-kata yang tidak menghakimi atau memberi kesan merendahkan.

3. Berikan Peran Kecil Tapi Bermakna

Orang tua ingin tetap merasa berguna. Libatkan mereka dalam urusan rumah seperti memilih menu makan, menjemput cucu, atau mengatur taman. Perasaan dibutuhkan dapat meredam perasaan tersinggung yang mudah muncul.

4. Kenali Tanda Gangguan Emosional yang Lebih Serius

Jika orang tua sering menangis tanpa sebab, menghindari orang, susah tidur, atau menunjukkan perubahan kepribadian yang drastis,  pertimbangkan untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater lansia.

Memahami bahwa Papa atau Mama jadi lebih sensitif bukan karena ingin membuat hidup kita lebih rumit tapi karena tubuh dan pikiran mereka memang sedang melewati fase sulit adalah langkah awal dari empati. Ketimbang merespons dengan kekesalan, kita bisa memilih untuk hadir sebagai pendamping yang sabar.

"Mereka tidak berubah karena ingin menyusahkan, tetapi karena proses alami penuaan membuat dunia emosional mereka lebih rentan," kata Susan.

Sebagai anak, kita tidak selalu bisa mengubah mereka kembali seperti dulu. Tapi kita bisa memilih tetap memperbesar jarak karena bingung menghadapi emosi mereka, atau belajar merangkul dengan pengertian. Karena saat kita hadir dengan hati, mereka tak harus bersuara keras untuk merasa didengar.