Dulu Pengen Cepat Dewasa, Sekarang Pengen Jadi Anak TK Lagi! Kenapa Menjadi Orang Dewasa Itu Sulit?

Ilustrasi sulitnya menjadi dewasa
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Waktu kecil, jadi dewasa terdengar seperti mimpi indah. Kita membayangkan kebebasan penuh bisa makan cokelat tanpa dimarahi, tidur larut malam sesuka hati, dan tentu saja punya uang sendiri. Tapi setelah dewasa? Ternyata hidup itu bukan sekadar makan mi instan jam 12 malam sambil nonton drama Korea. Kita baru sadar bahwa yang selama ini kita inginkan bukan jadi dewasa, tapi jadi anak-anak tanpa dilarang-larang.

Sekarang, yang terasa justru tekanan. Tekanan dari pekerjaan, dari ekspektasi sosial, dari keluarga, bahkan dari diri sendiri. Sering kali, tanpa sadar, kita menengok ke belakang dan rindu masa ketika masalah terbesar hanyalah PR Matematika atau rebutan mainan.

Mimpi Masa Kecil: Dewasa Itu Bebas?

Saat kecil, kita sering melihat orang dewasa sebagai tokoh super. Mereka bisa menyetir mobil, bawa dompet berisi uang, dan boleh nonton TV sampai tengah malam. Tapi ternyata, semua itu datang sepaket dengan stres, beban pikiran, dan rutinitas tak berujung. Kita tidak diberi tahu bahwa jadi dewasa berarti harus kuat setiap saat, meski hati lelah dan pikiran remuk.

Menurut psikolog klinis dari University of California, Dr. Julie L. Hall, Ph.D, masa dewasa bukan hanya tentang memegang kendali atas hidup, tapi juga menjadi pusat tanggung jawab bagi banyak hal keluarga, pekerjaan, bahkan relasi sosial.

"Dewasa adalah fase di mana seseorang bukan hanya mengurus diri sendiri, tapi juga menjadi pusat tanggung jawab bagi orang lain keluarga, pekerjaan, bahkan komunitas," jelasnya.

Realita Kehidupan Dewasa: Kenapa Kok Berat Banget 

1. Beban Finansial: Gaji Masuk, Tapi Rasanya Numpang Lewat

Gaji bulanan sering kali hanya mampir sebentar di rekening. Belum sempat senang, sudah harus dibagi untuk cicilan, listrik, pulsa, transportasi, dan biaya hidup harian. Bahkan kadang, belum akhir bulan, isi dompet sudah tinggal debu dan struk belanja. 

Konsep 'punya uang sendiri' yang dulu kita idamkan, kini terasa seperti ilusi. Uang ada, tapi semua sudah ada tujuannya bahkan sebelum kita terima. 

2. Tekanan Emosional: Harus Kuat, Padahal Mau Meledak 

Jadi dewasa juga berarti harus bisa menahan diri. Di tempat kerja, kita tak bisa marah sembarangan meski ditekan atasan. Di rumah, kita harus tetap tersenyum agar tidak menambah beban orang tua atau pasangan. Emosi sering kali dipendam, bukan karena kuat, tapi karena terpaksa.Dr. Hall menambahkan bahwa beban emosional ini bukan hal sepele.

"Kesepian dan kelelahan emosional di usia dewasa sering tersembunyi karena topeng profesionalitas dan rutinitas. Padahal, itu bisa berdampak besar pada kesehatan mental,"" kata dia.

3. Kesepian yang Sunyi dan Tidak Terlihat 

Saat kecil, mudah sekali membuat teman. Tapi ketika dewasa, menjalin pertemanan butuh tenaga dan waktu yang sering kali tak kita punya. Perlahan, lingkaran sosial mengecil. Banyak orang hanya punya teman kantor, atau bahkan tak ada teman dekat sama sekali. 

Kesepian jadi hal yang umum, walaupun tak banyak dibicarakan. Kita merasa harus tetap baik-baik saja, meski di dalam hati, rasanya kosong dan terasing. 

Harus Bisa Semuanya Sendiri

Anak-anak bisa minta tolong kapan saja, dan orang akan memaklumi. Tapi dewasa? Kita dituntut bisa melakukan segalanya sendiri. Mengurus administrasi, membayar pajak, mengatur asuransi, menyelesaikan konflik, memperbaiki genteng bocor, memasak, merawat orang tua, dan tetap harus produktif. Fenomena ini disebut Dr. Hall sebagai adulting burnout.

"Fenomena adulting burnout menjadi umum di kalangan usia 25–45 tahun karena tuntutan sosial yang tidak proporsional dengan dukungan yang tersedia," kata dia.

Banyak dari kita tak pernah diajarkan menghadapi kehidupan dewasa. Kita hanya dijatuhkan ke dalamnya dan diminta untuk segera bisa berenang. 

Rindu Jadi Anak TK Lagi

Kenapa banyak orang dewasa justru merindukan masa kecil? Hal ini karena saat jadi anak-anak, dunia terasa lebih aman. Tidak ada beban keuangan, tidak ada tuntutan produktivitas, dan tidak ada tekanan sosial sebesar sekarang.

Kita bebas mengekspresikan emosi, bisa menangis tanpa ditanya kenapa belum move on. Kita bisa tidur siang tanpa rasa bersalah, bisa jujur tentang ketakutan dan kelemahan kita. 

Dewasa justru membuat kita kehilangan hak-hak itu. Kita menjadi pribadi yang harus siap setiap waktu, bahkan saat hati kita sedang patah. 

Lelah Itu Wajar, Kamu Nggak Sendiri 

Perasaan kewalahan, lelah secara mental dan fisik, adalah hal yang sangat wajar. Semua orang dewasa pernah merasakannya, hanya saja banyak yang memilih diam. Kita hidup dalam budaya yang sering menilai produktivitas lebih tinggi daripada kesehatan mental.

"Menormalkan kelelahan emosional adalah langkah penting dalam menjaga keseimbangan mental. Kita perlu memberi ruang untuk menjadi tidak sempurna," kata Julie L. Hall 

Tak apa kalau kamu belum sukses di usia 30. Tak apa kalau kamu masih bingung dengan jalan hidupmu. Tak apa kalau kamu belum bisa punya rumah sendiri atau belum menikah. Dewasa bukan kompetisi. Ini proses dan kadang memang berat.

Apa yang Bisa Dilakukan Agar Tidak Kewalahan? 

1. Tentukan Batasan Sehat (Set Boundaries) 

Belajar bilang “tidak” adalah langkah penting. Kita tak bisa menyenangkan semua orang. Melindungi waktu dan energi diri sendiri bukan egois, itu bentuk sayang pada diri sendiri. 

2. Bangun Koneksi Sosial yang Bermakna 

Hubungi sahabat lama, jalin komunikasi dengan orang-orang yang membuatmu merasa dihargai. Kehangatan manusia tetap menjadi kebutuhan dasar, bahkan di tengah kehidupan modern.

3. Rawat Diri, Jangan Tunggu Sakit 

Tidur cukup, makan makanan bergizi, olahraga ringan, dan nikmati waktu tanpa layar. Lakukan hal-hal kecil yang membuatmu senang, meski hanya lima menit sehari. 

4. Minta Bantuan Itu Bukan Tanda Lemah

Jangan ragu untuk berkonsultasi ke psikolog atau konselor. Justru keberanian mengakui bahwa kamu butuh bantuan adalah tanda kekuatan sejati.

Kalau kamu merasa relate dengan tulisan ini, kamu nggak sendiri dan kamu berhak istirahat.