Pesugihan demi Kekayaan, Mengapa Masih Banyak yang Tergoda Jalan Instan?
- Grok
Lifestyle – Di tengah arus kemajuan zaman dan kemudahan akses terhadap pendidikan serta teknologi, praktik pesugihan ternyata belum benar-benar hilang dari masyarakat Indonesia. Cerita-cerita tentang orang yang mengorbankan sesuatu—baik secara fisik, spiritual, bahkan moral—demi kekayaan instan masih sering terdengar.
Dari ritual gaib hingga hubungan mistis dengan makhluk halus, semua dilakukan demi satu tujuan: uang dan kekayaan dalam waktu cepat.
Lantas, mengapa di era logika dan digitalisasi seperti sekarang, masih ada orang yang memilih jalan pesugihan? Apakah sekadar mitos? Atau justru cerminan dari tekanan ekonomi dan ketimpangan sosial yang nyata?
Berikut ini penjelasan yang bisa membantu Anda memahami mengapa praktik pesugihan masih menggoda banyak orang di zaman modern:
1. Keinginan Kaya Secara Instan
Tidak dapat dimungkiri, banyak orang ingin menjadi kaya tanpa melalui proses panjang. Pesugihan menawarkan "solusi" cepat dan instan bagi mereka yang frustrasi dengan realitas hidup yang sulit.
Ketika jalan logis terasa lambat dan penuh tantangan, jalan gaib terlihat sebagai pintu keluar yang cepat—meski risikonya sangat besar.
2. Tekanan Ekonomi dan Ketimpangan Sosial
Kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah serius. Dalam situasi terjepit, sebagian orang merasa tidak punya pilihan lain. Pesugihan muncul sebagai “jalan pintas” saat kebutuhan mendesak tidak bisa dipenuhi melalui cara legal dan rasional.
Bahkan di beberapa daerah, cerita tentang pesugihan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai cara bertahan hidup atau mendapatkan kekayaan keluarga.
3. Kurangnya Literasi Keuangan dan Pendidikan
Salah satu faktor kuat yang membuat orang percaya pada pesugihan adalah rendahnya pemahaman tentang pengelolaan uang, investasi, dan peluang ekonomi. Orang yang tidak mengerti bagaimana uang bekerja akan lebih mudah terjebak dalam keyakinan bahwa kekayaan bisa didapat melalui jalan yang tak masuk akal.
Jika masyarakat dibekali dengan literasi keuangan sejak dini, kepercayaan pada hal-hal mistis bisa berkurang.
4. Budaya Mistis yang Masih Mengakar
Indonesia adalah negara yang kaya akan kepercayaan lokal, mitos, dan spiritualitas. Budaya mistis ini tidak serta-merta hilang, meski zaman berubah. Dalam cerita-cerita lokal, orang yang mendadak kaya sering dikaitkan dengan "ilmu hitam", "tumbal", atau makhluk gaib seperti tuyul dan genderuwo.
Pesugihan pun menjadi semacam "penjelasan populer" atas kekayaan seseorang, meski sebenarnya bisa jadi hasil kerja keras dan strategi bisnis yang tidak diketahui publik.
5. Media dan Konten Viral yang Memperkuat Mitos
Sayangnya, media sosial dan kanal konten seringkali ikut melanggengkan kisah-kisah pesugihan, baik dalam bentuk horor, humor, maupun dokumenter. Video atau cerita tentang pesugihan yang viral bisa membuat orang penasaran dan bahkan mempertimbangkan kebenarannya.
Dalam banyak kasus, ini menumbuhkan ketertarikan sekaligus normalisasi terhadap praktik tersebut.
6. Ketidakpercayaan terhadap Sistem
Sebagian orang merasa bahwa sistem yang ada—baik ekonomi, hukum, maupun sosial—tidak adil. Mereka percaya bahwa orang jujur sulit kaya, sementara yang "bermain kotor" justru sukses. Kekecewaan ini bisa mendorong seseorang memilih jalur alternatif, termasuk pesugihan, karena merasa sistem legal tidak memberikan hasil yang diharapkan.
7. Kurangnya Alternatif dan Harapan
Ketika peluang terasa tertutup, dan usaha yang halal tampak tidak membuahkan hasil, sebagian orang kehilangan harapan. Pesugihan hadir sebagai simbol bahwa "masih ada cara lain", meskipun itu bertentangan dengan moral dan logika.
Kepercayaan dan praktik pesugihan memang sulit diberantas hanya dengan kemajuan teknologi atau pembangunan ekonomi. Karena pada dasarnya, pesugihan bukan sekadar soal uang, tapi soal psikologi, harapan, tekanan hidup, dan ketimpangan sosial yang kompleks.
Jika ingin memberantas kepercayaan pada jalan mistis semacam ini, solusinya bukan hanya menertawakan atau mengutuk, tetapi membangun masyarakat yang melek finansial, memiliki akses terhadap pendidikan yang baik, dan diberi kesempatan untuk sukses melalui cara yang sehat dan legal.
Karena sesungguhnya, kekayaan sejati bukan berasal dari pesugihan, melainkan dari kerja keras, pengetahuan, dan pengelolaan uang yang bijak.