Culture Shock Orang Bangka Tinggal di Jawa: Kebiasaan Makan sampai Tradisi Lebaran

Ilustrasi tradisi di Jawa
Sumber :
  • Pixabay

Lifestyle – Tinggal di daerah baru sering kali membawa kejutan budaya yang menarik sekaligus menantang. Bagi masyarakat Bangka yang merantau ke Jawa, khususnya Jawa Timur, perbedaan budaya menjadi pengalaman yang memperkaya wawasan. 

12 Kebiasaan Pengeluaran Bulanan yang Bikin Boros, Nomor 4 Sering Diremehkan

Mulai dari cara menyebut makanan, silsilah keluarga, hingga tradisi hari raya, semua membawa nuansa baru yang patut dijelajahi. 

"Culture shock selama tinggal di Jawa. Sebagai orang Bangka yang tinggal di Jawa Timur, ini beberapa culture shock yang saya rasakan saat tinggal di Jatim," tulisnya, mengutip unggahan Instagram rumpi_gosip, Rabu 10 September 2025. 

10 Kebiasaan Orang Jakarta yang Bikin Turis Kaget, Harus Ekstra Persiapan

Berikut adalah penjelasan mendalam tentang perbedaan budaya yang dialami, yang tidak hanya informatif tetapi juga mengundang rasa ingin tahu.

Sebutan Makanan Berkuah: "Jangan"

Di Jawa Timur, makanan berkuah memiliki sebutan yang unik, yaitu "jangan." Istilah ini sering membingungkan pendatang karena di tempat lain, "jangan" berarti larangan. Namun, di Jawa, "jangan" merujuk pada hidangan berkuah seperti sayur lodeh, sayur asem, atau sop. 

Kebiasaan Orang Baduy Gak Pakai Sandal, Kenapa?

Istilah ini berasal dari bahasa Jawa yang digunakan secara luas di kalangan masyarakat lokal, terutama di pedesaan. Bagi orang Bangka, yang mungkin lebih terbiasa dengan sebutan "sayur" atau "kuah," istilah ini menjadi salah satu kejutan budaya yang menarik. 

Penggunaan istilah ini mencerminkan kekayaan bahasa lokal yang masih kental di Jawa Timur, menambah daya tarik bagi pendatang untuk memahami dialek setempat.

Silsilah Keluarga: Panggilan "Dik" yang Unik

Sistem kekerabatan di Jawa memiliki aturan yang berbeda dari budaya Bangka. Salah satu kejutan budaya adalah cara memanggil anggota keluarga berdasarkan silsilah. 

"Meskipun usia kamu lebih tua, tetapi jika orang tuamu adalah saudara yang lebih muda, kamu akan dipanggil 'dik' oleh sepupu Anda. Misalnya, kamu anak dari saudara pertama walaupun masih bayi, akan tetap memanggil Anda dik," demikian pengalaman yang dibagikan. 

Kebiasaan ini menunjukkan bahwa panggilan dalam keluarga Jawa lebih mengutamakan urutan kelahiran orang tua ketimbang usia individu. Hal ini berbeda dengan budaya Bangka, yang cenderung menggunakan panggilan berdasarkan usia. Sistem ini mencerminkan nilai hormat terhadap hierarki keluarga yang kuat dalam budaya Jawa.

Bahasa Jawa Halus: Sopo dan Sinten

Penggunaan bahasa Jawa halus, atau kromo inggil, menjadi salah satu ciri khas budaya Jawa Timur yang masih lestari. 

"Kalau ke orang muda pakai sopo (siapa), kalau ke yang lebih tua pakai sinten (siapa). Bahasa kromo masih sering digunakan," ungkap unggahan tersebut. 

Bahasa kromo inggil digunakan untuk menunjukkan rasa hormat, terutama saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau memiliki status sosial lebih tinggi. 

Bagi orang Bangka, yang mungkin lebih terbiasa dengan bahasa Melayu atau dialek lokal, penggunaan bahasa halus ini bisa menjadi tantangan sekaligus pengalaman baru. Pemakaian bahasa ini tidak hanya terbatas pada percakapan formal, tetapi juga dalam interaksi sehari-hari, seperti saat bertanya nama seseorang.

Kebiasaan Menawarkan Sesuatu: Dua hingga Tiga Kali

Budaya menawarkan sesuatu di Jawa Timur juga memiliki keunikan tersendiri. 

"Kalau menawarkan sesuatu harus dua-tiga kali baru dianggap kita benar-benar menawarkan," demikian penjelasan dalam unggahan. 

Tradisi ini mencerminkan keramahan dan kesopanan masyarakat Jawa, di mana penawaran pertama sering dianggap sebagai bentuk sopan santun semata. Pendatang dari Bangka mungkin merasa bingung karena di budaya mereka, penawaran sekali biasanya sudah dianggap tulus. 

Kebiasaan ini menunjukkan betapa pentingnya kesabaran dan ketelatenan dalam interaksi sosial di Jawa, yang menjadi bagian dari pesona budaya lokal.

Sebutan Lauk: "Iwak" untuk Segala Jenis

Dalam hal kuliner, istilah "lauk" di Jawa Timur digantikan dengan "iwak." 

"Makan itu tidak pakai lauk tapi iwak. Yang berarti lauk. Iwak tempe, iwak laut, iwak pitik (ayam). Kecuali daging, langsung daging sapi," tulis unggahan tersebut. 

Istilah "iwak" merujuk pada semua jenis lauk, baik itu ikan, tempe, tahu, hingga ayam, kecuali daging sapi atau kambing yang disebut langsung sesuai jenisnya. 

Bagi orang Bangka, yang mungkin lebih sering menggunakan istilah "lauk" atau "sambal" untuk hidangan pendamping, istilah ini menjadi salah satu keunikan yang menarik. Penggunaan "iwak" ini juga mencerminkan kekayaan bahasa Jawa yang penuh dengan kearifan lokal.

Tradisi Lebaran Idul Fitri: Salam Tempel dan Pulang

Perayaan Idulfitri di Jawa Timur memiliki nuansa yang berbeda dari tradisi di Bangka. 

"Kalau Lebaran Idulfitri cuma salam tempel alias salam terus pulang. Khususnya tetangga kecuali yang dekat banget atau tetangga," demikian penjelasan dalam unggahan.

Tradisi ini menunjukkan bahwa silaturahmi di Jawa Timur cenderung singkat, terutama dengan tetangga yang tidak terlalu dekat. 

Berbeda dengan Bangka, di mana silaturahmi Idul Fitri biasanya melibatkan kunjungan panjang dan jamuan makanan, tradisi "salam tempel" ini memberikan kesan praktis namun tetap penuh makna. Bagi pendatang, tradisi ini mungkin terasa sederhana, tetapi justru menunjukkan efisiensi dalam menjaga hubungan sosial.

Tradisi Idul Adha: Sederhana dengan Sate dan Sholat

Perbedaan juga terlihat pada perayaan Idul Adha. 

"Kalau Idul Adha cuma sholat ied, terus potong kurban, dan bakar sate. Tanpa ada kue lebaran atau kunjungan ke rumah-rumah. Harinya berlalu seperti biasa saja cuma ketambahan sholat ied dan bakar sate. Sementara kalau di Bangka sama kayak Idulfitri," ungkap unggahan tersebut. 

Di Jawa Timur, Idul Adha dirayakan dengan sederhana, fokus pada ibadah sholat dan pembagian daging kurban, tanpa tradisi kunjungan seperti di Bangka. 

Kebiasaan membakar sate menjadi momen yang dinanti, tetapi suasana hari raya tetap terasa lebih santai dibandingkan Idulfitri. Perbedaan ini menjadi pengalaman budaya yang menarik bagi orang Bangka yang merantau.