Stop! Jangan Asal Unggah Foto Anak, Ini Bahayanya yang Jarang Diketahui

Ilustrasi ibu dan anak
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Fenomena berbagi momen keluarga di media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan banyak orang tua modern. Dari unggahan foto bayi yang baru lahir hingga video lucu aktivitas anak sehari-hari, konten seputar kehidupan anak kian mendominasi linimasa. Istilah “sharenting”—gabungan dari kata sharing dan parenting—muncul untuk menggambarkan praktik ini. Meski tampak tidak berbahaya, sharenting menyimpan risiko serius terhadap privasi dan masa depan digital anak. Dalam era di mana informasi dengan mudah tersebar dan direplikasi, penting bagi orang tua untuk memahami dampak dan batas etis dalam pola asuh digital.

Apa Itu Sharenting?

Ide Aktivitas Outdoor Menarik untuk Anak di Masa Liburan

Sharenting adalah praktik orang tua yang secara rutin membagikan informasi, foto, atau video anak mereka di media sosial. Aktivitas ini bisa mencakup berbagai hal, mulai dari perkembangan tumbuh kembang, kegiatan sehari-hari, hingga perayaan ulang tahun. Menurut survei dari Security.org (2021), sekitar 75% orang tua di dunia mengaku pernah membagikan foto anak mereka secara online sebelum usia anak mencapai lima tahun. Di Indonesia sendiri, tren ini juga berkembang seiring dengan meningkatnya pengguna aktif media sosial, khususnya di kalangan milenial yang kini memasuki fase sebagai orang tua.

Bagi banyak orang tua, membagikan momen anak di media sosial adalah bentuk ekspresi kasih sayang dan kebanggaan. Namun, di balik niat yang tampaknya positif tersebut, terdapat konsekuensi jangka panjang yang kerap tidak disadari.

Risiko Privasi dan Ancaman Keamanan

Tips Mencegah Masalah Pencernaan Pada Anak Selama Liburan

Sharenting membuka peluang bagi pihak ketiga untuk mengakses informasi pribadi anak tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Informasi seperti nama lengkap, tanggal lahir, lokasi sekolah, hingga kebiasaan sehari-hari dapat digunakan untuk keperluan yang tidak etis, termasuk pencurian identitas, digital kidnapping (pencurian identitas anak untuk akun palsu), hingga eksploitasi oleh predator daring.

Lebih dari itu, praktik sharenting juga berdampak pada jejak digital anak. Dalam konteks parenting modern, penting untuk memahami bahwa setiap unggahan di dunia maya berkontribusi pada rekam jejak anak yang kelak akan membentuk citra diri mereka di ruang digital. Anak-anak yang tumbuh dengan eksistensi daring yang dibentuk tanpa persetujuan mereka berisiko mengalami tekanan psikologis, rasa malu, bahkan cyberbullying saat mereka tumbuh dewasa dan menyadari keberadaan konten tersebut.

Perspektif Hukum dan Etika

Kenali Tanda-Tanda Anak Bosan atau Cemas Selama Libur Panjang

Dari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mengatur penggunaan dan perlindungan data pribadi, termasuk milik anak. Orang tua sebagai wali memiliki peran untuk menjaga informasi anak tetap aman dan tidak disebarluaskan sembarangan. Selain UU PDP, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran yang berdampak negatif terhadap individu, termasuk anak-anak.

Etika dalam pola asuh digital menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Menurut pakar psikologi anak, membagikan konten anak tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang adalah bentuk pelanggaran hak privasi anak. Anak-anak, meskipun belum cukup umur untuk memahami konsekuensi digital, tetap memiliki hak atas privasi dan kontrol terhadap identitas mereka di dunia maya.

Tips Parenting Aman di Era Digital

Orang tua perlu menerapkan pola asuh digital yang bijak dan bertanggung jawab. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara berbagi dan melindungi:

1. Pikirkan Sebelum Mengunggah

Hindari membagikan konten anak yang bersifat memalukan, sensitif, atau bersifat pribadi, seperti saat mandi, menangis, atau mengalami kegagalan.

2. Batasi Informasi Pribadi

Jangan mencantumkan nama lengkap, lokasi rumah atau sekolah, maupun tanggal lahir secara eksplisit dalam unggahan.

3. Gunakan Pengaturan Privasi yang Ketat

Manfaatkan fitur privasi pada media sosial untuk membatasi siapa yang dapat melihat unggahan. Hindari akun publik untuk konten anak.

4. Minta Persetujuan Anak (Jika Sudah Cukup Umur)

Anak yang sudah dapat berkomunikasi dengan baik perlu diajak berdiskusi tentang unggahan mereka. Hal ini menanamkan rasa hormat terhadap privasi sejak dini.

5. Edukasi Diri dan Anak Tentang Literasi Digital

Orang tua harus menjadi contoh dalam penggunaan media sosial yang sehat. Ajarkan anak tentang batasan berbagi informasi sejak usia dini.

Studi Kasus: Ketika Sharenting Menjadi Bumerang

Salah satu contoh nyata datang dari seorang ibu di Jakarta yang aktif membagikan kehidupan anaknya sejak bayi di Instagram. Seiring bertambahnya usia, sang anak mulai merasa terganggu dan malu karena foto-fotonya saat kecil—termasuk saat sedang tantrum atau tidak berpakaian lengkap—masih tersedia dan dibagikan secara publik. Akhirnya, anak tersebut menolak difoto dan menunjukkan sikap resisten terhadap kamera. Situasi ini menunjukkan bahwa walaupun dilakukan dengan niat baik, sharenting dapat menimbulkan konflik emosional dalam hubungan orang tua dan anak jika tidak dilakukan secara etis.