Gosipin Orang Terus, Kenapa Kita Sering Ngerasa Gosip Itu Produktif?
- iStock
Lifestyle –Nongkrong sama temen cewek tuh ajaib. Awalnya cuma ngomongin skincare, ujung-ujungnya bahas mantannya si A. Pernah ngalamin hal yang mirip? Atau malah sering jadi bagian dari obrolannya?
Tenang, kamu nggak sendirian. Entah di meja arisan, grup WhatsApp alumni, sampai obrolan di ruang kerja gosip seolah jadi bagian alami dari interaksi sosial, terutama di antara perempuan. Menariknya, banyak dari kita merasa puas, bahkan seolah produktif, setelah ngobrolin orang lain. Tapi... benarkah itu produktif?
Psikolog sosial Dr. Frank T. McAndrew dari Knox College, Illinois, menjelaskan bahwa fenomena ini punya akar dalam psikologi manusia yang lebih dalam dari sekadar suka ngomongin orang. Yuk, kita bongkar kenapa gosip terasa berfaedah, padahal sering kali hanya ilusi semu.
Setelah seharian kumpul dan ngobrol, kamu pulang dengan perasaan puas. ‘Hari ini banyak dapet info’. Tapi kalau dipikir-pikir, info tadi lebih banyak soal hidup orang lain bukan tentang perkembangan diri sendiri, kerjaan, atau hal yang berdampak langsung buat kamu. Ini yang disebut dengan false productivity, atau rasa produktif palsu.
Menurut Frank, gosip membuat kita merasa sedang melakukan sesuatu yang berguna secara sosial. Dalam jangka pendek, mengetahui informasi pribadi orang lain memberi kita rasa unggul, seolah punya akses ke rahasia yang bisa bikin kita lebih waspada atau bahkan lebih dihormati dalam lingkaran pertemanan.
Mengapa Gosip Terasa “Memberdayakan” bagi Perempuan?
Secara historis dan evolusioner, perempuan memang lebih sering membangun ikatan lewat komunikasi verbal. Dalam kehidupan prasejarah, perempuan cenderung tinggal dalam komunitas dan bergantung satu sama lain untuk merawat anak dan bertahan hidup.
Informasi sosial menjadi kunci dalam menjalin dan menjaga relasi dan gosip adalah salah satu bentuk paling efektif untuk itu. Frank menjelaskan bahwa perempuan lebih sensitif terhadap dinamika relasi karena peran sosial mereka dalam menjaga harmoni dan aliansi.
Maka, memiliki informasi tentang siapa yang bisa dipercaya, siapa yang bermasalah, atau siapa yang sedang mengalami konflik, dianggap penting. Ini bisa menjelaskan kenapa gosip menjadi aktivitas yang terasa penting, meskipun kadang tidak berdampak nyata.
Dari Rasa Ingin Tahu ke Kecanduan Informasi Sosial
Selain untuk mengikat relasi, gosip juga memenuhi kebutuhan otak akan informasi sosial. Dalam studinya, Frank menjelaskan bahwa manusia, secara naluriah, sangat tertarik pada kehidupan orang lain.
Ini bagian dari strategi bertahan hidup zaman dulu dengan mengetahui status sosial, reputasi, dan konflik dalam kelompok, seseorang bisa menyesuaikan perilaku dan meningkatkan peluang bertahan.
Nah, di zaman sekarang, insting itu belum hilang. Kita masih merasa perlu tahu bahkan kalau info itu nggak berhubungan langsung dengan kita. Akibatnya, muncul rasa penasaran, kecanduan ngobrolin orang, bahkan semacam dopamin kecil saat tahu rahasia terbaru.
Apa Dampaknya Kalau Terlalu Sering Bergosip?
Meskipun terasa memuaskan, terlalu sering bergosip bisa menimbulkan konsekuensi negatif, lho. Pertama, tentu saja dari segi waktu dan energi. Coba hitung berapa jam yang terbuang hanya untuk membahas hidup orang lain waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk refleksi diri, belajar hal baru, atau sekadar istirahat.
Dampak lain adalah reputasi. Orang yang dikenal suka gosip bisa kehilangan kepercayaan dari teman sendiri. Bahkan, bisa jadi target gosip balik. Lebih dari itu, secara psikologis, gosip yang berlebihan bisa menimbulkan rasa bersalah, kecemasan, atau overthinking soal “tadi aku ngomong terlalu banyak nggak, ya?”
Jadi, Apakah Semua Gosip Itu Buruk?
Tidak selalu. Frank membedakan dua jenis gosip:
- Prosocial gossip – Tujuannya untuk melindungi orang lain atau memperbaiki lingkungan sosial. Misalnya, “Jangan kasih pinjam uang ke dia dulu, dia belum bayar temen kita yang lain.”
- Malicious gossip – Bertujuan merendahkan, mempermalukan, atau mencari hiburan dari penderitaan orang lain.
Gosip jenis pertama sebenarnya bisa membantu masyarakat tetap aman dan berfungsi dengan baik. Tapi gosip jenis kedua yang bersifat jahat bisa merusak hubungan dan lingkungan sosial. Jadi, yang penting bukan hanya gosip atau enggak, tapi niat dan dampaknya.
Cara Lepas dari Perasaan “Puas Palsu” Setelah Gosip
Kalau kamu mulai merasa gosip jadi bagian besar dari kehidupan sosialmu, coba refleksi dan ubah arah. Beberapa tips untuk lepas dari jebakan gosip dan tetap seru saat kumpul:
- Alihkan topik ke diri sendiri – Banyak hal menarik yang bisa dibahas tanpa nyentil orang lain: pengalaman pribadi, impian masa kecil, makanan favorit, film terakhir yang ditonton.
- Main game ringan – Permainan seperti “This or That” atau “Never Have I Ever” bisa bikin suasana tetap rame tanpa bahas hidup orang.
- Pakai humor netral – Tertawa bareng itu sehat, asal nggak harus dengan menjatuhkan orang lain.
- Sadari energi yang dikeluarkan – Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah yang kubicarakan ini memberi manfaat buatku atau orang lain?”
Frank menekankan bahwa gossip tidak selamanya buruk. Namun gosip bisa melukai orang lain jika kita menyerang mereka daripada memahami orang lain di dunia ini.