Terungkap Alasan Gen Z Adopsi Tren 'Quiet Quitting' Jadi Solusi Hidup Sehat, Bukan Malas!

Ilustrasi Gen Z
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle – Di era digital menuntut manusi untuk melakukan pekerjaan serba cepat sehingga muncul tekanan untuk selalu produktif bahkan bekerja di luar jam kantor dianggap normal. Namun, munculnya fenomena "quiet quitting" di kalangan Gen Z menjadi sebuah gebrakan yang mengguncang budaya kerja konvensional. 

Takut Tersingkir AI? Ini Cara Memilih Karier yang Aman di Era Kecerdasan Buatan

Istilah ini sering disalahartikan sebagai malas atau tidak loyal terhadap perusahaan. Quiet quitting bukanlah resign secara diam-diam, melainkan sebuah sikap hanya melakukan pekerjaan sesuai deskripsi dan kewajiban tanpa mengambil beban tambahan di luar kontrak.

Bagi Gen Z, quiet quitting adalah cara mereka untuk mengembalikan batasan yang sehat antara kehidupan profesional dan pribadi atau work life balance. Hal ini sebagai respons terhadap budaya hustle culture yang seringkali menuntut karyawan untuk mengorbankan waktu, energi, dan kesehatan mental demi pekerjaan. 

Lowongan Kerja Menyusut? Awas! Ini 5 Pekerjaan yang Rawan Digantikan AI

Alih-alih membenci pekerjaan, quiet quitting justru menjadi solusi untuk tetap bertahan dan mencintai pekerjaan tanpa harus menjadikannya satu-satunya fokus dalam hidup. Berikut alasan lengkap menjamurnya quiet quitting di kalangan generasi muda, khususnya gen Z.

1. Prioritaskan Kesehatan Mental dan Well-being

Salah satu alasan utama di balik fenomena maraknya quiet quitting adalah tingginya kesadaran Gen Z terhadap kesehatan mental. Generasi ini tumbuh di tengah maraknya diskusi tentang burnout, kecemasan, dan depresi yang seringkali dipicu oleh tekanan pekerjaan yang berlebihan.

Gen Z Tak Lagi Percaya Gelar Sarjana, Lebih Pilih Jalur Vokasi Demi Cepat Dapat Kerja?

Gen Z menyadari bahwa bekerja di luar jam kantor, menjawab email di malam hari, atau mengambil tugas ekstra tanpa bayaran hanya akan mengikis energi dan mengancam kesejahteraan mental. Dengan menerapkan quiet quitting, mereka secara sadar menolak ekspektasi yang tidak realistis dan menegaskan bahwa kesehatan mental adalah aset yang tak ternilai. 

Mereka memilih untuk mengalokasikan waktu dan energi untuk istirahat, melakukan hobi, dan menghabiskan waktu bersama orang terkasih. Kegiatan tersebut membuat kalangan gen Z lebih bahagia bahkan menariknya bisa meningkatkan produktif saat jam kerja.

2. Hindari Hustle Culture

Budaya kerja yang menuntut karyawan untuk terus-menerus bekerja keras, berlomba-lomba lembur, dan menjadikan pekerjaan sebagai identitas diri (hustle culture) adalah hal yang ditentang Gen Z. Mereka melihat bahwa budaya ini seringkali tidak sebanding dengan kompensasi yang didapatkan, dan justru mengikis waktu untuk pengembangan diri di luar karier.

Quiet quitting menjadi perlawanan terhadap budaya ini. Alih-alih mengejar promosi dengan cara mengorbankan waktu pribadi, mereka lebih memilih untuk melakukan pekerjaan sesuai porsi dan batasan yang telah ditetapkan. 

Dengan begitu, memungkinkan untuk memiliki ruang dan waktu untuk belajar skill baru, memulai proyek sampingan, atau sekadar menikmati hidup tanpa harus merasa bersalah. Ini adalah bentuk penolakan terhadap ide bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh seberapa banyak mereka bekerja.

3. Mencari Keseimbangan

Generasi sebelumnya mungkin memandang bahwa loyalitas terhadap perusahaan diukur dari seberapa banyak waktu yang diberikan. Namun, Gen Z memiliki definisi loyalitas yang berbeda. 

Mereka percaya bahwa loyalitas adalah memberikan hasil kerja yang berkualitas selama jam kerja. Bukan menghabiskan waktu di kantor secara berlebihan.

Quiet quitting merupakan wujud nyata dari upaya gen z untuk mencari keseimbangan (work life balance). Dengan menetapkan batasan yang jelas, mereka memastikan bahwa pekerjaan tidak merambah ke ranah pribadi. 

Hal ini memungkinkan untuk menjalani hidup yang lebih holistik, di mana karier adalah bagian dari hidup bukan keseluruhan dari hidup itu sendiri. Bagi Gen Z, keberhasilan sejati bukan hanya tentang pencapaian profesional, tetapi juga tentang memiliki kehidupan yang utuh dan memuaskan di luar pekerjaan.

4. Uang Bukan Segalanya

Tidak seperti generasi sebelumnya yang mungkin melihat pekerjaan sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan uang, Gen Z memiliki pandangan yang lebih luas. 

Mereka mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan kompensasi yang layak, tetapi juga memiliki tujuan dan nilai yang sejalan dengan keyakinan. Ketika pekerjaan tidak lagi memberikan makna, gen Z cenderung menarik diri dari keterlibatan emosional dan hanya memenuhi kewajiban sebatas yang diminta.

Quiet quitting adalah cara mereka untuk bertahan dalam pekerjaan yang mungkin tidak sejalan dengan nilai mereka, tanpa harus mengorbankan diri seutuhnya. Sehingga bisa tetap profesional, namun tidak lagi berinvestasi secara emosional di luar apa yang dibayarkan. Sikap ini memungkinkan mereka untuk menjaga energi untuk hal-hal yang benar-benar mereka pedulikan.

Pada akhirnya, quiet quitting bukanlah tanda kemalasan atau ketidaksetiaan, melainkan sebuah evolusi dari cara pandang terhadap pekerjaan. Ini adalah respons yang cerdas dari Gen Z untuk melindungi kesehatan mental, menghindari burnout, dan menemukan keseimbangan hidup di tengah tuntutan dunia kerja modern. 

Fenomena ini menjadi pengingat penting bagi perusahaan dan masyarakat bahwa nilai seorang pekerja tidak bisa lagi diukur dari seberapa lama mereka berada di kantor. Namun dari seberapa efektif dan berkualitas hasil kerja yang dapat diberikan kepada perusahaan.