7 Pengeluaran Tidak Penting yang Bikin Kelas Menengah Sulit Mapan
- ChatGPT
Lifestyle – Sebagai bagian dari kelas menengah, Anda mungkin sudah merasa aman secara ekonomi. Penghasilan bulanan stabil, bisa liburan sesekali, dan punya akses ke cicilan berbagai barang. Namun, tanpa sadar, banyak dari kebiasaan belanja Anda justru menjadi penghambat untuk naik kelas ekonomi.
Banyak pakar keuangan menyebut jebakan kelas menengah ini sebagai “illusion of wealth”—terlihat mapan, padahal keuangan stagnan atau bahkan rapuh. Salah satu penyebab utamanya? Pola konsumsi barang yang sebenarnya tak perlu, tapi terus dibeli demi gengsi atau karena terbiasa.
Berikut tujuh barang yang sebaiknya mulai Anda hindari beli jika ingin kondisi finansial lebih sehat.
1. Gadget Terbaru Setiap Tahun
Sering ganti ponsel, tablet, atau smartwatch hanya karena versi baru rilis adalah kebiasaan mahal. Padahal, secara fungsional, perbedaan antar versi biasanya tidak terlalu signifikan untuk kebutuhan harian.
Sebagai kelas menengah yang ingin naik kelas, belilah gadget berdasarkan kebutuhan, bukan tren. Gunakan perangkat yang masih berfungsi dengan baik hingga benar-benar butuh upgrade.
2. Mobil Kedua atau Mobil Mahal untuk Gaya
Mobil adalah aset yang nilainya terus turun. Membeli mobil kedua untuk “biar kelihatan sukses” atau mengganti mobil lama yang masih layak pakai demi citra, adalah keputusan yang bisa menguras cashflow.
Jika mobil pertama Anda sudah memenuhi kebutuhan harian, pertimbangkan untuk mengalokasikan dana ke instrumen investasi atau modal usaha, bukan ke cicilan kendaraan baru.
3. Pakaian Bermerek yang Tidak Sesuai Budget
Tidak salah membeli pakaian berkualitas, tapi jika sudah sampai level berbelanja hanya demi logo brand atau tren desainer terkini, itu patut ditinjau ulang. Banyak kelas menengah rela cicil tas mewah atau sneakers edisi terbatas padahal tabungan belum aman.
Alihkan pengeluaran fesyen ke barang-barang yang fungsional, berkualitas, dan tahan lama—bukan sekadar simbol status.
4. Langganan Berlebihan: TV Kabel, Streaming, Gym Mewah
Langganan ini sering bersifat “nggak kerasa ngurangin duit”, padahal totalnya bisa ratusan ribu bahkan jutaan per bulan. Apakah semua channel dan aplikasi benar-benar Anda gunakan?
Audit semua layanan langganan Anda, pilih yang paling sering dipakai, dan hentikan sisanya. Ganti gym mahal dengan olahraga mandiri atau komunitas lari lokal yang gratis.
5. Kopi dan Makanan Instan Premium Setiap Hari
Rp40 ribu per hari untuk kopi kekinian atau makan siang fancy mungkin terasa kecil, tapi jika dikalikan sebulan, angkanya bisa lebih dari Rp1 juta. Kebiasaan ini tak salah sesekali, tapi bisa menjadi kebocoran finansial yang besar.
Jika Anda sedang menargetkan dana darurat, investasi, atau DP rumah, mulailah menekan jajan harian dan siapkan makanan sendiri.
6. Barang Elektronik yang Jarang Dipakai
Air fryer, coffee machine, blender mahal, hingga smart speaker sering kali hanya dibeli karena tren. Sayangnya, setelah 1–2 minggu, barang-barang ini malah menganggur.
Sebelum membeli elektronik rumah tangga baru, tanya pada diri sendiri: “Berapa kali saya benar-benar akan memakainya dalam sebulan?” Jika tidak bisa menjawab dengan angka pasti, tunda dulu pembeliannya.
7. Dekorasi dan Furnitur Impulsif demi Aesthetic
Dekorasi rumah atau furnitur Instagrammable memang menggoda. Tapi mengganti karpet, vas, atau sofa setiap tahun demi tampilan media sosial bisa membuat pengeluaran rumah tangga membengkak.
Fokuslah pada fungsi dan kenyamanan jangka panjang, bukan gaya sesaat. Anda tetap bisa punya rumah nyaman tanpa harus jadi budak estetika viral.
Waspadai “Konsumsi Simbolik”
Naik kelas dari kelas menengah ke ekonomi mapan tidak hanya soal menambah penghasilan, tapi juga soal mengurangi pemborosan. Banyak barang yang sebenarnya tak wajib dibeli, tapi terus menerus kita konsumsi karena tekanan sosial, citra, atau rasa bosan.
Dengan lebih sadar terhadap pengeluaran, Anda bisa membebaskan ruang finansial untuk hal yang lebih penting: investasi, dana pensiun, pendidikan anak, atau bahkan kebebasan waktu. Ingat, bukan seberapa banyak yang Anda hasilkan, tapi seberapa bijak Anda mengelolanya.