AI Bisa Bawa Kamu Liburan ke Tempat yang Gak Ada di Dunia

Ilustrasi AI
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle – Di tengah hiruk pikuk inovasi digital, Kecerdasan Buatan (AI) telah menancapkan kukunya di hampir setiap aspek kehidupan, tak terkecuali dunia perjalanan dan pariwisata. Alat AI generatif seperti ChatGPT, Microsoft Copilot, dan Google Gemini bukan lagi sekadar kebaruan, melainkan telah bertransformasi menjadi asisten andalan bagi jutaan pelancong dalam merancang itinerari impian. 

Sebuah survei bahkan menunjukkan bahwa sekitar 30% pelancong internasional kini memanfaatkan alat-alat ini—serta situs AI khusus perjalanan seperti Wonderplan dan Layla—untuk memetakan petualangan mereka. 

Program-program ini menjanjikan efisiensi dan rekomendasi personal yang tak tertandingi, mampu menyajikan kiat perjalanan berharga dalam sekejap mata.

Namun, di balik pesona kemudahan dan kecepatan ini, tersembunyi sebuah risiko yang semakin nyata dan berbahaya: AI dapat menciptakan destinasi yang sepenuhnya fiktif atau memberikan informasi yang salah, menjerumuskan para pelancong ke dalam situasi yang membuat frustrasi, bahkan mengancam nyawa. Inilah yang dialami oleh Miguel Angel Gongora Meza, pendiri dan direktur Evolution Treks Peru, ketika ia bertemu dengan dua turis yang berencana mendaki sendirian menuju "Ngarai Suci Humantay". 

"Tidak ada Ngarai Suci Humantay!" tegas Gongora Meza, melansir BBC, Rabu 1 Oktober 2025.

Nama tersebut hanyalah kombinasi yang dibuat-buat oleh AI, menyebabkan turis tersebut membayar mahal untuk perjalanan menuju jalan pedesaan tanpa destinasi yang jelas.

Ancaman Nyata di Balik Fantasi Digital

Kasus destinasi fiktif yang dihasilkan oleh AI, atau yang dalam istilah para ahli disebut "halusinasi", bukan sekadar lelucon digital. Di tempat seperti Peru, misinformasi semacam ini membawa konsekuensi yang sangat serius. Gongora Meza menekankan bahwa bahaya bukan hanya terletak pada kekecewaan, melainkan pada ancaman keselamatan. 

"Misinformasi semacam ini berbahaya di Peru. Ketinggian, perubahan iklim, dan aksesibilitas jalur harus direncanakan," jelasnya. 

AI yang menggabungkan gambar dan nama secara serampangan untuk menciptakan fantasi, dapat menempatkan seseorang di ketinggian 4.000 meter tanpa oksigen dan sinyal telepon, kondisi yang berpotensi mematikan.

Kisah lain datang dari Dana Yao dan suaminya, yang menggunakan ChatGPT untuk merencanakan pendakian romantis ke puncak Gunung Misen di Pulau Itsukushima, Jepang. Mereka tiba di puncak sesuai petunjuk, siap menuruni gunung menggunakan kereta gantung terakhir. 

Sayangnya, mereka menemukan bahwa kereta gantung telah tutup lebih awal dari yang diinformasikan ChatGPT. Pasangan tersebut pun terjebak di puncak gunung, membuktikan bahwa bahkan detail kecil mengenai jam operasional pun rentan terhadap kesalahan fatal AI.

Menara Eiffel di Beijing dan Rute Maraton yang Mustahil

Fenomena halusinasi AI dalam perencanaan perjalanan telah terdokumentasi secara meluas. Sebuah laporan BBC pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa layanan AI Layla sempat merekomendasikan pengguna mengunjungi "Menara Eiffel di Beijing"—sebuah destinasi yang jelas tidak ada. Lebih konyol lagi, AI menyarankan rute maraton yang "sangat tidak masuk akal" melintasi Italia utara kepada seorang pelancong Inggris, memaksa pelancong tersebut menghabiskan lebih banyak waktu untuk transportasi daripada menikmati perjalanan.

Data survei tahun 2024 semakin memperkuat kekhawatiran ini, di mana 37% responden yang menggunakan AI untuk merencanakan perjalanan melaporkan AI gagal memberikan informasi yang memadai, sementara 33% lainnya mengatakan rekomendasi AI mengandung informasi palsu.

Akar Masalah: Bagaimana AI "Berpikir"

Lantas, mengapa alat yang begitu canggih bisa menciptakan fantasi dan informasi palsu? Menurut Rayid Ghani, seorang profesor terkemuka dalam pembelajaran mesin di Carnegie Melon University, masalah ini berakar pada cara model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT menghasilkan respons. AI tidak benar-benar "mengerti" perbedaan antara saran perjalanan, petunjuk arah, atau resep. 

"Ia hanya tahu kata-kata," kata Ghani. 

AI bekerja dengan menganalisis kumpulan teks yang sangat besar dan secara statistik menyusun kata dan frasa yang membuatnya terdengar seperti respons yang tepat dan realistis.

Inilah yang melahirkan halusinasi. Saat model ini gagal menemukan data faktual yang koheren, ia akan mengarang sesuatu—merangkai kata-kata yang terdengar masuk akal berdasarkan pola linguistik yang dipelajari. Dalam kasus "Ngarai Suci Humantay", AI mungkin hanya merangkai kata-kata yang sering muncul dalam konteks wilayah tersebut. Lebih lanjut, AI bisa saja salah menginterpretasikan data; misalnya, mengira jalan santai 4.000 meter di kota sebagai pendakian 4.000 meter di lereng gunung.

Batas Realitas yang Kian Kabur

Di luar kesalahan informasi faktual, masalah AI dalam perjalanan juga menyentuh isu persepsi dan realitas. Insiden yang dilaporkan Fast Company menceritakan pasangan yang melakukan perjalanan ke Malaysia untuk melihat kereta gantung indah yang mereka saksikan di TikTok. 

Namun, tidak ada struktur seperti itu—video tersebut sepenuhnya dihasilkan oleh AI untuk meningkatkan interaksi. Halusinasi semacam ini menciptakan harapan palsu dan memudarkan batas antara yang nyata dan yang diimajinasikan.

Javier Labourt, seorang psikoterapis klinis berlisensi, menyuarakan kekhawatiran bahwa maraknya masalah ini dapat meniadakan manfaat mendasar dari perjalanan: interaksi dengan orang-orang nyata dan pembelajaran tentang budaya yang berbeda secara langsung, yang mengarah pada empati dan pemahaman yang lebih besar. Ketika halusinasi AI memberikan informasi yang salah, itu sama saja memberikan narasi yang salah tentang suatu tempat bahkan sebelum pelancong meninggalkan rumah.

Para pelancong yang cerdas harus menyadari bahwa AI adalah alat, bukan oracle. Menggunakan AI sebagai titik awal ide perjalanan sah-sah saja, namun verifikasi silang dengan sumber-sumber tepercaya—peta, website resmi, dan saran dari pemandu wisata lokal—adalah langkah krusial yang tidak boleh dilewatkan. Di era informasi berlimpah, sikap skeptis dan hati-hati adalah paspor terbaik menuju perjalanan yang aman dan autentik.