UNESCO Tetapkan Raja Ampat sebagai Cagar Biosfer Dunia

Raja Ampat
Sumber :
  • Wonderful Indonesia

Lifestyle – Dalam langkah monumental bagi pelestarian alam Indonesia dan kawasan laut dunia, UNESCO menetapkan Raja Ampat sebagai cagar biosfer dunia (biosphere reserve) pada 30 September 2025. Keputusan ini diumumkan bersamaan dengan penetapan 30 situs baru dalam jaringan cagar biosfer global UNESCO. Penetapan Raja Ampat bukan hanya pengakuan prestisius terhadap nilai ekologisnya, tetapi juga momentum strategis untuk menjadikan kawasan ini sebagai laboratorium hidup dalam mengharmonisasikan konservasi, masyarakat lokal, dan pembangunan berkelanjutan.

Cakupan cagar biosfer Raja Ampat mencapai sekitar 135.000 km² dan meliputi lebih dari 610 pulau. Hanya sekitar 34 pulau di antaranya yang berpenghuni. Wilayah ini berada di jantung Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), yang menjadi pusat keanekaragaman laut dunia, dengan kontribusi signifikan terhadap konservasi terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut secara global. 

Keputusan UNESCO ini menambah gelar internasional bagi Raja Ampat, setelah sebelumnya kawasan ini telah diakui sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2023.

Keunggulan Ekologis dan Keanekaragaman Hayati Laut & Darat

Raja Ampat dikenal sebagai salah satu ekosistem laut paling kaya di dunia. Data UNESCO dan berbagai kajian menunjukkan bahwa kawasan ini menjadi habitat lebih dari 75 % spesies karang dunia, serta ribuan spesies ikan karang dan organisme laut lainnya. Menurut sumber lainnya, lebih dari 1.320 spesies ikan karang telah tercatat di kawasan ini.

Kehidupan laut Raja Ampat juga didukung oleh struktur geologi karst dan formasi batuan tertua yang terekspos di Indonesia, yang diperkirakan berasal dari era Silur–Devonian (sekitar 443,8 hingga 358,9 juta tahun lalu). Proses karstifikasi – pelarutan batu kapur oleh air hujan dan laut – telah menghasilkan gua di atas dan di bawah air, yang menjadikan kawasan ini menarik untuk eksplorasi speleologi laut dan penelitian geologi.

Berdasarkan data warisan hayati (bioheritage) Geopark Raja Ampat, kehidupan darat juga sangat kaya: sekitar 874 jenis tanaman (termasuk 9 jenis endemik), 114 jenis herpetofauna (amfibi dan reptil), 47 jenis mamalia, serta 274 jenis burung. Beberapa spesies menjadi ikon endemik, seperti Wilson’s Bird of Paradise (Cenderawasih Botak).

Persiapan dan Proses Penetapan

Upaya menjadikan Raja Ampat sebagai cagar biosfer tidak muncul tiba-tiba. Sejak sekitar tahun 2024, Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara resmi mengajukan Raja Ampat untuk status cagar biosfer UNESCO dalam kerangka program Man and Biosphere (MAB). Proses aplikasi tersebut melibatkan konsultasi publik, penyusunan dokumen teknis, serta koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat adat, lembaga ilmiah, dan pelaku pariwisata.

Penetapan ini dilakukan dalam sesi ke-37 Dewan Koordinasi Program MAB di China, sebagai bagian dari perluasan jaringan cagar biosfer global. UNESCO menetapkan 30 biosfer baru, salah satunya adalah Raja Ampat, sebagai respons terhadap tantangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim global.

Fungsi dan Pilar Cagar Biosfer

Menurut UNESCO, cagar biosfer memiliki tiga pilar utama:

  1. Konservasi — melindungi keanekaragaman hayati, ekosistem, dan lanskap alam;
  2. Pembangunan Berkelanjutan — mendorong kesejahteraan sosial, ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari;
  3. Pendidikan, Riset, dan Pertukaran Ilmu Pengetahuan — menjadikan kawasan sebagai pusat penelitian, pendidikan lingkungan, dan inovasi manajemen sumber daya alam.

Dengan status ini, Raja Ampat diharapkan menjadi wilayah eksperimen penerapan solusi adaptif terhadap ancaman lingkungan — seperti perubahan iklim laut, degradasi koral, tekanan pariwisata, dan polusi — sekaligus menjaga keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

Tantangan Ke depan dan Isu Lingkungan

Penetapan cagar biosfer akan membawa tanggung jawab besar dalam pengelolaan keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam. Salah satu isu krusial yang muncul adalah potensi konflik kepentingan antara kegiatan pelestarian dan kebutuhan ekonomi lokal. Misalnya, terdapat laporan mengenai rencana aktivitas penambangan nikel di pulau-pulau tertentu seperti Batang Pele dan Manyaifun, yang mengancam hutan, terumbu karang, dan mata pencaharian masyarakat lokal.

Isu lain termasuk peningkatan tekanan pariwisata — meskipun sektor ini vital bagi kesejahteraan lokal — yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan kerusakan ekosistem sensitif dan overkapasitas kunjungan. Pemantauan kualitas air, pengendalian polusi, serta zonasi konservasi yang tegas akan menjadi tantangan utama.

Approach berbasis kearifan lokal akan menjadi krusial: pengelolaan berbasis masyarakat adat, integrasi pengetahuan lokal, dan keikutsertaan aktif dalam pengambilan kebijakan akan menentukan keberlanjutan jangka panjang status cagar biosfer Raja Ampat. Peran lembaga penelitian dan pendidikan lingkungan akan sangat penting dalam mendukung data ilmiah, evaluasi dampak, dan inovasi teknik konservasi.

Dengan status baru sebagai cagar biosfer dunia, Raja Ampat memulai babak baru perjalanan sebagai laboratorium hidup global, di mana komunitas lokal, ilmuwan, dan pemerintah bekerja sama melestarikan alam sekaligus membangun masa depan yang berkelanjutan.